Kontekstual, Politik Dalam Sarung

“Pada era kolonial, semangat patriotismenya masyarakat Indonesia terbentuk sebab pelawanannya terhadap dominasi asing. Sehingga jiwa penolakan terhadap anasir kolonial sangat mengkuat. Ambil satu contoh, dalam sejarah perlawanannya dengan manggunakan sarung pernah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) ketika Muktamar ke-2 NU tepatnya pada tahun 1927. Dimana pesertanya ini terdiri dari para ulama dan pimpinan pondok pesantren. Mereka memutuskan bahwa berpakaian menyerupai pakaian penjajah hukumnya adalah haram. Banyak kalangan memaknai bahwa keputusan ini sebagai puncak perlawanan simbolik yang dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap praktik kolonialisme yang terjadi pada era tersebut”

Sarung Menjadi Potret Perjuangan

Dalam konteks sosio-antropologis, pakaian menjadi sebuah kode yang memiliki banyak makna baik terkait dengan identitas, suatu ideologi hingga kemajuan teknologi dan bahkan urusan dalam berpolitik. Memang pada fungsi utamanya pakaian adalah menjadi pelindung tubuh kita dari perubahan cuaca atau serangan hewan yang ada disekitar kita.

Pada era kolonial, identitas pakaian menjadi penyemangat patriotismenya masyarakat Indonesia untuk melawanan terhadap dominasi asing. Sehingga jiwa penolakan terhadap anasir kolonial sangat mengkuat. Ambil satu contoh, dalam sejarah perlawanannya dengan manggunakan sarung pernah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) ketika Muktamar ke-2 NU tepatnya pada tahun 1927. Dimana pesertanya ini terdiri dari para ulama dan pimpinan pondok pesantren. Mereka memutuskan bahwa berpakaian menyerupai pakaian penjajah hukumnya adalah haram. Banyak kalangan memaknai bahwa keputusan ini sebagai puncak perlawanan simbolik yang dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap praktik kolonialisme yang terjadi pada era tersebut.

Menjadi suatu potret buram pada waktu itu, kaum santri yang memiliki kebiasaan memakai sarung bukanlah orang-orang yang didengar dalam percaturan sosial, urusan kebudayaan, lebih-lebih ranah perpolitikan. Dan, perlu digarisbawahi dalam konteks Indonesia mereka lebih dikenal dengan sebutan udik. Padahal keberadaan sarung tidak hanya menjadi suatu simbol kebudayaan dan agama di Indonesia, akan tetapi juga menjadi bagian dari politik.

Baca juga  Maulid ditengah wacana Muktamar Luar Biasa Nahdlatul Ulama (MLBNU)

Namun ketika Indonesia sudah merdeka, kebiasaan memakai sarung justru menjadi suatu ciri khas kaum santri. Seiring dengan kemajuannya dalam berfikir dan perkembangan zamannya, bahkan para pengelola atau pengasuh pondok pesantren banyak yang menyerukan bahwa resistensi terhadap kebudayaan barat tidak relevan lagi. Dalam pendapat mereka, bahwa tidak semua kebudayaan yang berasal dari Barat harus diharamkan. Sehingga pada era selanjutnya, kita bisa melihat, beberapa pondok pesantren membolehkan memakai celana panjang, termasuk memakai dasi, dan sarung dalam kegiatan pondok pesantren.

 

Sarung Dalam Tafsir Politik,
Pada saat yang sama sarung bisa saja menjadi pakaian politik. Kita bisa membacanya secara seksama sebagai politik pakaian. Sebagaimana yang terjadi dalam pembukaan Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa Timur, Presiden Joko Widodo datang dengan memakai sarung warnanya merah merona. Tujuan Presiden memakai sarung itu untuk menghormati NU. Sebab sarung selama ini memang identik dengan warga NU yang biasa mendapat sebutan kaum sarungan.

Tentunya semua faham, warna merah adalah warna identik sekaligus identitas PDI Perjuangan. Partai ini yang mengusung Jokowi sebagai presiden terpilih. Hal senada pada waktu itu Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum PDI-P yang turut hadir di acara tersebut juga berkenan dengan pilihan sarung yang dipakai Jokowi.

Sejalan dengan penegasan Nordholt (2005) bahwa pakaian berperan besar dalam menentukan citra seseorang. Dalam hal ini sarung sebagai pakaian menjadi alat komunikasi semiotis yang dimainkan dalam interaksi percaturan politik. Sehingga pakaian menjadi suatu cermin identitas, penempatan status, memunculkan hirarki, memperjelas gender, memiliki nilai simbolik dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu. Termasuk juga, pakaian mencerminkan sejarah adanya hubungan kekuasaan, perbedaan dalam pandangan sosial, aturan berpolitik, dan derajat religiusitas.

Baca juga  Tahun politik, apakah warga NU boleh berpolitik?

Patut menjadi suatu catatan kita bersama, NU dengan basis massanya yang besar membuatnya menjadi pemain penting. Sehingga patut diperhitungkan untuk menjaring suara dalam setiap momen pesta politik bangsa ini. Di kandang beridentitas hijau royo-royo tersebut, Jokowi hadir kontras dengan penanda diri sarung berwarna merah merona.

Sarung Dan Nilai Filosofisnya,
Perlu kita tahu sebagai warga Nahdliyin, sarung itu memiliki makna yang sangat luas dan elegan. Sehingga dari sarung tersebut, kita bisa banyak belajar tentang lilaka-liku kehidupan. Mulai dari bagaimana cara memakai sarung secara umum, yaitu dengan terlebih dulu membentangkan kedua sisinya ke kanan dan kiri. Setelah itu dari sudut tersebut kemudian dipertemukan di tengah kemudian digulung; sampai bagian bawahnya berada di atas mata kaki dan agar kencang dan tidak mudah lepas atau memudar.

Dari cara pemakaiannya ini sebetulnya mengajarkan kepada kita tentang pentingnya nilai persatuan. Menjadi solusi atas persoalan hidup terhadap perbedaan yang menyeruak ke permukaan. Kemudian, di titik yang sama, di titik tengah, kita seperti ditempatkan pada persamaan yang sifatnya naluriah. Dari sini sarung memberikan pengertian kepada kita, bahwa betapa pun manusia memiliki perbedaan, pastinya juga memiliki sisi persamaan yang seharusnya dikelola dengan baik. Relasi nilai maknanya yang bisa kita ambil, misalkan kita belum bisa merawat suatu perbedaan, lebih baik kita mencari persamaan dalam hidup. Jika kita tidak bisa menciptakan kedamaian, kenyamanan, ketentraman setidaknya jangan sampai kita menciptakan percikkan yang menimbulkan perselisihan dan berakhir dengan pertengkaran. Jawabannya “seharusnya tidak ada.”

Semoga menyongsong proses pilkada yang akan digelar pada hari rabu, 27 november 2024 untuk memilih kepala daerah berupa Bupati-Wakil Bupati, Wali Kota-Wakil Wali Kota, dan Gubernur-Wakil Gubernur berjalan dengan damai sesuai dengan harapan kita bersama sebagaimana pelajaran dari “sarung” tersebut.

Baca juga  Terputusnya Nasab Habaib Ba’Alawi di Indonesia (Perspektif Pemikiran KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani)

 

Oleh Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I

Dosen PAI-BSI (Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner) Pascasarjana IAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo; Dosen PAI-Terapan Politeknik Pelayaran Surabaya; Pengurus LTMNU PCNU Sidoarjo; Ketua LDNU MWCNU Krembung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *