Tepatnya setiap tanggal 26 September, kita memperingati Hari Kontrasepsi Sedunia atau World Contraception Day. Tujuannya ini adalah untuk membangun dan meningkatkan relasi kesadaran masyarakat akan pentingnya perencanaan keluarga dengan berbagai pilihan metode kontrasepsi yang ada. Namun disaat menjelang memasuki bulan September 2024 ini, juga adanya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan yaitu penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja yang menuai polemik.
Untuk keberlangsungan dalam hidup di tengah masayarakat, Perencanaan keluarga menjadi poin terpenting yang wajib dipersiapkan setelah menikah demi kemaslakhatan Bersama pasangan. Adanya perencanaan keluarga yang sangat matang, menjadikan pasangan kita tetap bisa mengembangkan diri dan tetap bisa berkarier. Termasuk adanya kemampuan untuk merencanakan kehamilan, pandainya memilih kontrasepsi dapat meningkatkan kesehatan mental dan kebahagiaan bagi Perempuan pada umumnya. Termasuk juga nilai manfaatnya bagi orang tua adalah kasih sayang dan kebutuhan finansial untuk anak tetap bisa termaksimalkan.
Terkait dengan hal tersebut di atas, muncullah Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan yang baru-baru ini didengungkan dan menuai kontroversi di tengah masyarakat. Sebab adanya satu pasal yang menyebut penyediaan alat kontrasepsi bagi kelompok usia sekolah dan remaja yang mengundang polemik dan mengganggu ketenangan masyarakat. Terutama bagi Masyarakat yang memiliki anak usia sekolah atau remaja.
Peraturan Pemerintah (PP) yang dimaksud adalah PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tentang Kesehatan itu mencakup beberapa program kesehatan termasuk kesehatan sistem reproduksi. Pasal 103 mengenai upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja memunculkan polemik khususnya Ayat (4) butir “e” yaitu penyediaan alat kontrasepsi.
Namun apa kata mereka?
Abdul Fikri Faqih, Wakil Ketua Komisi X DPR RI mengatakan, aturan tersebut tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasas budi pekerti luhur dan norma agama. Ia menilai, pemberian alat kontrasepsi sama halnya dengan mengizinkan perilaku seks bebas di kalangan pelajar. “Alih-alih mensosialisasikan risiko perilaku seks bebas kepada usia remaja, malah menyediakan alatnya, ini nalarnya kemana?”
Arzerti Bilbina, anggota Komisi IX DPR RI memberikan penilaian bahwa perlu adanya penjelasan secara mendetail soal aturan ini agar tidak menimbulkan tafsir yang salah. Dan, juga perlu adanya pengawasan ketat disertai dengan adanya edukasi. “Hati-hati, jika gagal pengawasan justru jadi racun perusak anak-anak. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini diimbangi dengan pendidikan seksual yang holistik karena bisa jadi bumerang”.
Sedangkan dokter Boyke Dian Nugraha, spesialis ginekologi dan seksolog memberikan penjelasan terkait pemahaman soal seks yang pada umumnya mulai muncul di usia remaja. Dari situ, penting untuk memberikan edukasi soal bahaya seks bebas bagi remaja. Namun, apabila edukasi tidak efektif dan para remaja telanjur terjerumus dalam seks bebas, alat kontrasepsi bisa menjadi jalan terakhir untuk mencegah penyakit kelamin menular dan tindakan seperti aborsi.
“Untuk mereka, yang memang sudah terlanjur melakukan seks bebas, tetapi tetap bagaimanapun juga, yang namanya seks bebas dari sisi agama dan etika tetap tidak boleh”.
Lalu apa kata Kementerian Kesehatan (Kemenkes)?
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memastikan bahwa edukasi terkait kesehatan reproduksi, termasuk penggunaan kontrasepsi, hanya ditujukan kepada remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan karena kesiapan calon ibu yang mungkin terbatas oleh masalah ekonomi, kesehatan atau belum berkeinginan punya anak. Salah satu tujuan utama dari peraturan ini adalah meningkatkan layanan promotif dan preventif untuk mencegah masyarakat jatuh sakit.
Dimana layanan tersebut mencakup kesehatan reproduksi untuk remaja, di mana pemerintah akan menggalakkan pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi. Program ini mencakup edukasi mengenai sistem, fungsi, dan proses reproduksi, menjaga kesehatan reproduksi, perilaku seksual berisiko dan dampaknya, serta keluarga berencana dan kemampuan melindungi diri dan menolak hubungan seksual yang tidak diinginkan.
Namun, yang harus kita pahami bersama adalah penyediaan alat kontrasepsi tersebut tidak ditujukan untuk semua remaja, melainkan hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan ketika calon ibu belum siap karena masalah ekonomi atau kesehatan d.s.t. Dan, menjadi suatu catatan kita Bersama, bahwa pernikahan dini dapat meningkatkan risiko kematian ibu dan anaknya. Termasuk juga menyebabkan risiko stunting pada anak yang dilahirkan sangat tinggi, sebagaimana yang terjadi saat ini. Sesuai dengan ketentuan dalam PP tersebut, sasaran utama pelayanan alat kontrasepsi adalah pasangan usia subur dan kelompok usia subur yang berisiko khususnya.
Sebagai bagian dari Masyarakat yang terdidik, kita tidak boleh salah persepsi dalam menginterpretasikan PP tersebut. Dan, tentunya aturan ini akan diperjelas dalam rancangan Peraturan Menteri Kesehatan sebagai aturan turunan dari PP tersebut. Agar masyarakat tidak salah paham, yang menyebabkan kegaduhan dan polemik baru.
Kehadiran aturan turunan tersebut juga akan memperjelas mengenai pemberian edukasi tentang keluarga berencana bagi anak usia sekolah dan remaja yang akan disesuaikan dengan tahapan perkembangan dan usia anak nantinya.
Oleh Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I
Dosen PAI-BSI (Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner) Pascasarjana IAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo