Sejarah Angkatan Oemat Islam. Kyai Mahfudh Somalangu Kebumen adalah tokoh pejuang kemerdekaan, yang berakhir gugur bersama-sama santrinya ditangan Batalyon 426 dengan pemimpin Letkol Ahmad yani, yang dalam sejarah tercatat menjadi pahlawan Revolusi karena dibantai PKI. Laskar pengasuh Pesantren Somalangu ini dikenal berjasa bagi NKRI ini selama revolusi kemerdekaan.
Tapi mengapa muncul kebencian di kalangan tentara kader KNIL dan orang puritan kayak Hatta dan importir kiri kayak Amir Sjarifuddin untuk menyingkirkan beliau agar tidak masuk ke dalam jajaran TNI? Hanya gara gara akal-akalan tidak punya ijazah formal kayak sekolah anak ingusan?
Menurut Gus Dur, Angkatan Oemat Islam (AOI) muncul akibat kebijakan pimpinan militer (APRIS) pasca pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949. Kebijakan ini menghendaki peleburan laskar-laskar perlawanan ke dalam APRIS setelah usainya perang kemerdekaan. Namun, peleburan itu dengan misi bahwa hanya orang-orang yang mendapat pendidikan ‘Sekolah Umum Belanda’ saja yang menduduki jabatan komandan Batalyon. Pada konteks ini, Syekh Mahfudhz Abdurrahman berminat menjadi komandan batalyon ini, yang akan dibentuk dan bermarkas di Purworejo. Akan tetapi, karena alasan ijazah dan kebijakan pemerintah yang tidak memberikan ruang negosiasi, maka karier Syekh Mahfudz terhalang. Akhirnya, yang menjadi Komandan Batalyon adalah pemuda bernama Ahmad Yani.
Kesimpulannya bikin meradang:
Gerakan AOI pantas gagal karena pahamnya NU, ndeso, mistis, khurafat, tradisionalis, dlsb. Vonis vonis yang biasa kita temukan dalam kampus kampus islami plus modern katanya.
Akar sejatinya adalah kebijakan Re-Ra (restrukturisasi dan rasionalisasi) yang digelorakan Kabinet Hatta pada 1948. Kebijakan ini, atas usulan Wakil Panglima Besar AH Nasution. Melalui program Rera, personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan dipangkas menjadi separuh dari seluruh personil, dengan kualifikasi khusus yakni mereka yang memiliki ijazah. Mereka yang mendapat pendidikan militer di zaman Belanda dan Jepang mendapat prioritas, karena memiliki persyaratan administratif. Akan tetapi, kalangan santri tidak mendapatkan tempat dan disingkirkan dari jalur karier militer. Padahal, laskar-laskar santri berperan penting dalam perang kemerdekaan.
Penghancuran laskar santri Kiai Mahfudh oleh Overste [Letkol] Achmad Yani memang sistematis. Bukan cuma menghancurkan anggota laskarnya hingga habis, tapi juga menghancurkan reputasi dan nama baik Kiai Mahfudhh.
Lihat orang-orang diajak untuk menyaksikan sendiri: “ini lho bukti kelompok teroris itu”… “ini base camp latihan militer mereka”.. “ini pahamnya”… “ini pondoknya”.. “ini ajaran pendukung darul islam mereka” ….bla bla bla… “jadi jangan tanya kalau kami habisi mereka” ….
Pasukan AOI mendapat tawaran dari APRIS untuk bergabung. Syekh Mahfudz menolak bergabung, karena melihat bahwa kebijakan Rera merugikan laskar-laskar dan terutama AOI. Setidaknya, ada empat ancaman pasca kebijakan Rera: (1) ancaman eksistensi organisasi, (2) ancaman kehilangan posisi sosial ekonomi, (3) ancaman kehilangan posisi politis (4) ancaman kehilangan posisi budaya. Syekh Mahfudz sebenarnya sudah tidak memikirkan tentang karier militer atau posisinya sebagai komandan laskar. Akan tetapi, nasib puluhan ribu pasukan dan simpatisan laskar Hizbullah-Sabilillah, dan Pasukan AOI di kawasan Kedu Selatan menjadi keprihatinan Syekh Mahfudz. AOI pada masa itu, memiliki pengaruh besar di Wonosobo, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen dan Purworejo. Bahkan, kharisma Syekh Mahfudz melebihi otoritas pejabat Bupati Kebumen pada masa itu, RM Istikno Sosrobusono (Widiyanta, 1999).
Meski pasukan AOI sudah bergabung dengan Batalyon Lemah Lanang, akan tetapi masalah tidak berhenti. Para pasukan AOI yang memiliki prinsip keagamaan kuat, berbeda tradisi dengan pasukan didikan Militarie Academie Hindia Belanda, yang menjadi pasukan APRIS. Akibatnya, terjadi perkelahian antar pasukan, hingga satu pasukan AOI meninggal. Kolonel Sarbini di Magelang, menganggap peristiwa ini sebagai percikan pemberontakan.
Menurut keterangan Kiai Afifuddin (kerabat Syekh Mahfudz), hingga menjelang 1 Agustus 1950, Syekh Mahfudz sama sekali tidak menyiapkan konsep-konsep untuk mendirikan negara tersendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Syekh Mahfudz hanya ingin memperluas kawasan kepoetihan, semacam kawasan kaum muslim untuk memperluas interaksi komunitas. Akan tetapi, pembicaraan tentang ide Syekh Mahfudz ini juga tidak ada tindak lanjutnya. Pertemuan para pimpinan Batalyon 423 dan 426 (berasal dari laskar Hizbullah-Sabilillah), hanya ditujukan sebagai pertemuan untuk membahas kebijakan Rera dari pemerintah. Maka, dapat dibayangkan, betapa Syekh Mahfudz sangat kaget ketika Pesantren Somalangu diserbu oleh pasukan
TNI, pada pagi hari 1 Agustus 1950. Bangunan pesantren dan rumah-rumah penduduk di kawasan Somalangu, Candiwulan dan Candimulyo serta kawasan sekitarnya menjadi rusak. Masjid kuno yang berusia lebih 400 tahun juga mengalami kerusakan parah. Arsip-arsip dibakar. Sekitar 1000 orang tewas pada hari itu.
Kejadian ini, membawa luka mendalam bagi pengikut-pengikut Syekh Mahfudz yang berhasil meloloskan diri. Mereka kemudian membangkitkan perlawanan dengan pasukan Batalyon Lemah Lanang, yang kemudian bergabung dengan sisa-sisa Batalyon 426 dan 423 MMC (Merabu Merapi Complex) di kawasan Gunung Slamet. Inilah yang kemudian menjadi stigma Syekh Mahfudz dan pengikutnya semakin memburuk di hadapan pemerintah. Buku-buku sejarah yang ditulis setelah peristiwa ini, dalam sudut pandang militer, memandang Syekh Mahfudz dan pasukannya sebagai pemberontak. Padahal, yang sebenarnya terjadi, adalah intrik politik dan kepentingan para elite militer dalam misi Rera, yang ingin menyingkirkan kaum santri dalam peta militer negeri ini.
Kiprah Angkatan Oemat Islam (AOI) sebagai laskar pejuang untuk menegakkan NKRI di kawasan Kedu Selatan perlu ditulis ulang dengan sudut pandang sejarah yang sebenarnya. AOI selama ini dianggap sebagai pemberontak dan memiliki jaringan dengan orang-orang komunis. Tentu saja, hal ini merupakan pandangan yang salah, mengingat kiprah AOI di bawah komando Syekh Mahfudz Abdurrahman sangat gigih membela NKRI.
Referensi:
AN Ni’amah, Biografi Syaikh Mahfudz Al-Hasani Somalangu Kebumen (1901 M-1950 M) [1], Thesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.
A Zuhriyah, Angkatan Oemat Islam (Aoi): Studi Historis Gerakan Radikal Di Kebumen 1945-1950 [2], Thesis Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.
D Widiyanta, Angkatan Oemat Islam 1945-1950: studi tentang Gerakan Sosial di Kebumen, Jakarta: FIB-Universitas Indonesia, 1999.
Kuntowijoyo, Angkatan Oemat Islam 1945-1950: Beberapa Tjatatan Tentang Pergerakan Sosial, Yogyakarta: UGM, 1970.
NU Online : KH Mahfudh Sumolangu, Pejuang Komandan Angkatan Oemat Islam (nu.or.id)