Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Kiai Sahal Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siayasah safilah) adalah porsi partai politik bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah), yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.
Sebagai warga negara Indonesia yang baik, patut kiranya memahami pertimbangan arah pembangunan politik yang dicanangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai usaha untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan diarahkan untuk lebih memantapkan perwujudan Demokrasi Pancasila, Muktamar merasa perlu memberikan pedoman kepada warga Nahdlatul Ulama yang menggunakan hak-hak politiknya, agar ikut mengembangkan budaya politik yang sehat dan bertanggung jawab agar dapat ikut serta menumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional serta membangun mekanisme musyawarah mufakat dalam memecahkan setiap masalah yang dihadapi bersama.
Sebagaimana tersebutkan dalam sembilan pedoman berpolitik warga NU hasil Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, yang dilansir oleh NU Online:
- Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD1945.
- Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
- Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
- Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
- Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
- Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
- Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
- Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.
Untuk itu penting bagi kita selaku warga NU mengetahui secara seksama terkait rekam jejak sejarahnya tertanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto lengser keprabon akibat desakan arus reformasi yang kuat, mulai yang mengalir dari seminar, diskusi terbatas, unjuk rasa, unjuk keprihatinan, sampai istighosah yang terus menggulir.
Adanya peristiwa ini menyebabkan lahirnya era baru di Indonesia, yang kemudian hari disebut Era Reformasi. Terhitung sehari setelah peristiwa bersejarah itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mulai kebanjiran usulan dari warga NU di seluruh pelosok Tanah Air tercinta ini.
Keberagaman usulan ke PBNU ini, mulai dari yang hanya mengusulkan agar PBNU membentuk parpol, ada yang mengusulkan nama parpol. Tercatat ada 39 nama parpol yang diusulkan. Nama terbanyak yang diusulkan adalah Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat, dan Kebangkitan Bangsa.
Singkat ceritanya terbentuklah partai, deklarasi pun dilaksanakan di Jakarta pada 29 Rabiul Awal 1419 H atau 23 Juli 1998. Bunyi dalam isi deklarasi tersebut adalah:
Bahwa cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah terwujudnya suatu bangsa yang merdeka, bersatu, adil dan makmur, serta untuk mewujudkan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bahwa wujud dari bangsa yang dicita-citakan itu adalah masyarakat beradab dan sejahtera yang mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan yang bersumber dari hati nurani, bisa dipercaya, setia dan tepat janji serta mampu memecahkan masalah sosial yang bertumpu pada kekuatan sendiri, bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi, tolong menolong dalam kebajikan, serta konsisten menjalankan garis/ketentuan yang telah disepakati bersama.
Maka dengan memohon rahmat, taufiq, hidayah dan inayah Allah SWT serta didorong oleh semangat keagamaan, kebangsaan dan demokrasi, kami warga Jam’iyah Nahdlatul Ulama dengan ini menyatakan berdirinya partai politik yang bersifat kejuangan, kebangsaan, terbuka dan demokratis yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Namun dalam rekam jejak perjalanannya Ketua Umum PBNU saat itu, K.H. Hasyim Muzadi memberikan penilaian, bahwa warga NU selalu bernasib apes. Ketika warga NU mendukung partai lain, ternyata tidak banyak timbal balik yang diperoleh dari organisasi Islam terbesar ini. Sementara ketika warga NU mempunyai partai sendiri (PKB) selalu mencul konflik. Hingga saat ini terdapat dualisme kepemimpinan (kubu), yaitu kubu Alwi Shihab dan kubu Matori Abdul Jalil. “NU memang serba repot. Tidak punya partai seperti nyangoni kere minggat, punya partai geger terus”. Ujar Hasyim saat menghadiri Harlah ke-78 NU di gedung Asrama haji Lamongan (Jawa Pos, 4/2/2002).Selaras berjalannya rekam jejak yang terus menggulir, NU Online Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berikutnya juga memberikan penilaian, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tak lagi berfungsi dengan baik sebagai tempat aktivitas politik warga NU. Padahal, partai berlambang bola dunia dan sembilan bintang itu didirikan sebagai wadah perjuangan politik NU. “Dari awal lahir, PKB itu didirikan sebagai wadah dan aktivitas politik warga NU. Tapi, kok, lama-lama, komunitasnya jadi macet,” ujar Ketua PBNU KH Said Agil Siroj usai menghadiri diskusi bertajuk ‘Gerakan Jalan Lurus’, di kantor Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat (Jakarta, NU Online 28/5/2008).
Ingat !! kebanyakan pengamat selama ini dengan melihat dari latar belakang sosialnya, PKB sebagai partai bersimbol Islam memang memiliki basis sosial terbesar di Indonesia. Kemudian yang menjadi tanda tanya besar adalah apakah kebesaran basis sosial tersebut mampu mengantarkan PKB pada peran politiknya selama ini?? Sebab sebagai partai yang berbasis santri, kiai dan NU ini, manajemen organisasinya sangat tidak rapi, sehingga sering disebut sebagai “organisasi yang massanya besar tetapi perannya kecil”, rentan konflik dan mudah dijadikan ajang permainan para penguasa rawan dengan kepentingan yang merugikan masyarakat secara luas.
Meskipun adanya dalih Muhaimin Iskandar dengan memberikan penegasan, partai yang dia pimpin didirikan bukan hanya untuk kelompok Nahdlatul Ulama. PKB didirikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan pendiri lainnya untuk seluruh bangsa Indonesia. “Jadi bukan untuk NU pribadi, tapi seluruh bangsa Indonesia, tapi untuk berkibarnya Merah Putih, bagi kejayaan Indonesia,” kata Cak Imin dalam keterangan tertulis, Jumat (26/7/2024).
Kembali ke inti maksud dalam hal ini, setidaknya ada dua tantangan yang dihadapi PKB saat ini. Pertama adalah tantangan internal; kedua, tantangan eksternal dari partai-partai yang ada. Tantangan internal jauh lebih berat dibanding dengan tantangan eksternal, karena tantangan internal menyangkut soal soliditas dan kredebilitas partai.
NU sebagai basis massa PKB sarat dengan konflik internal. Misalnya konflik masa lampau antara kubu Idham Chalid (Cipete) dengan kubu Gus Dur (Jombang) yang berlangsung lama yang akhirnya sangat mempengaruhi jalannya roda organisasi; antara kubu Gus Dur dengan Abu Hassan, lepas konflik tersebut disetting oleh pemerintahan Orde Baru saat itu atau tidak, yang jelas massa NU mudah dijadikan ajang permaianan semata.
Hingga berlanjut adanya peristiwa konflik saat ini, antara Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Ketum PBNU menuding pembentukan Pansus Hak Angket Haji 2024 DPR dilatarbelakangi persoalan pribadinya dengan Cak Imin, panggilan akrab Muhaimin.
Seperti diketahui Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas adalah adik dari Gus Yahya. Sebagai aksi balasan PBNU bakal membuat Tim Lima untuk merebut PKB dari kepemimpinan Cak Imin. Sementara Cak Imin mengelak tuduhan itu. “Enggak ada urusannya dengan PKB atau PBNU, paham?” kata Cak Imin Senin (29/7/2024). Pansus Haji, katanya, dibentuk karena Komisi VIII DPR merasa tak mendapatkan keterangan jelas dari Kemenag, terutama soal pembagian kuota haji tambahan.
Sebenarnya, Gus Yahya maupun Cak Imin merupakan figur yang dekat dengan Presiden ke 4 RI sekaligus pendiri PKB, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Gus Yahya adalah juru bicara presiden saat Gus Dur menjabat. Sementara, Cak Imin adalah keponakan jauh Gus Dur karena merupakan cicit KH Bisri Syansuri yakni besan kakek Gus Dur, KH Hasyim Asy’ari. Kiai Bisri Syansuri dan Hasyim Asy’ari keduanya pendiri NU. Sedangkan Gus Yahya masih keponakan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus, kiai besar dan berpengaruh di NU.
Simpulnya paling akhir dari tulisan ini, kehadiran para kiai khos atau kiai sepuh untuk turun gunung dinilai lebih tepat menengarahi perseteruan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sehingga, bukan sekelas Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dapat meredam konflik antara PBNU dan PKB saat ini. Apalagi kesannya PBNU dinilai lebih dekat dengan pemerintah, khususnya Jokowi. Hal itu tentunya tak memadai untuk jadi penengah. Peluang akan ditolak lebih besar PKB khususnya.
Ini bukan tanpa alasan yang mendasar, sebab kiai khos sejatinya adalah kiai yang memiliki kharismatik dan sangat dihormati di kalangan warga Nahdliyin. Karena itu, siapa pun yang mengaku warga Nahdliyin pasti akan menghormati kiai khos tersebut. Sebab kehadiran para kiai khos ini lebih bisa bersikap adil dan bijaksana dalam memberikan nuansa solusi atas konflik antara PBNU dan PKB saat ini.
Semoga lekas berakhir……
Tetap rukun, kompak, maju bersama menyongsong Indonesia emas 2045……
Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I
Dosen PAI-BSI (Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner) Pascasarjana IAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo