Nur Zaenab Noer, contoh keteladanan nyata peranan perempuan dalam khidmat organisasi

Poin Nu Porong, Peran perempuan dalam pengabdian. Perempuan dalam masyarakat jawa identik adigium 3M (macak, manak, dan masak) yang seakan menandakan bahwa ia hanyalah makhluk “nomor dua” setelah laki-laki terutama saat sudah berumah tangga. Namun hal tersebut agaknya tidak berlaku bagi tokoh kita yang satu ini. Aktivitasnya seabreg, jabatan sosialnya setumpuk dan yang paling mengesankan adalah beliau tidak melalaikan kodratnya sebagai seorang ibu untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi emas di masa depan.

Ibu dengan empat anak ini bernama lengkap Dra. Nur Zaenab Noer. Beliau lahir dan tumbuh dalam keluarga sederhana dengan nuansa yang sangat agamis. Ayahnya bernama Noer Hasan seorang tokoh agama di daerah Porong.

Bu Nur begitu beliau biasa disapa, mengenyam pendidikan dasarnya di MINU Yayasan Umroniyah Porong dan lulus tahun 1954. Sejak kecil Bu Nur terlihat “lebih” dari anak-anak sebayanya. Beliau dikenal sebagai seorang perempuan pemberani dengan semangat belajar yang meledak-ledak. Kemudian melanjutkan di Muallimat Khadijah selama 6 tahun, kala itu Khadijah masih berada di Kawatan Bubutan. Setelah lulus dari Muallimat Khadijah, beliau langsung disuruh mengajar Al-Qur’an oleh Kiai Wahab Turcham, dikarenakan bu Nur itu orangnya cerdas dan semangat belajarnya sangat tinggi. Disamping itu, bu Nur juga mengenyam pendidikan tinggi di IAIN Sunan Ampel Surabaya, waktu itu diasuh langsung oleh Kiai Syafi’i Karim.

Baca juga  ANSOR : Tidak Ada Batasan Untuk Pengabdian

Beliau bercerita, semasa belajar di IAIN pernah mendapat beasiswa ke Mesir. Kabar gembira itu kemudian disampaikan kepada keluarganya dan melakukan sholat istikhoroh serta minta pertimbangan kepada para gurunya. Semua usaha sudah dilakukan dan hasilnya alhamdulillah baik (dalam artian jika melanjutkan ke luar negeri baik). Namun suatu hari ketika beliau pulang dari IAIN seharusnya beliau pulang ke asrama Khadijah, tapi anehnya beliau tidak turun di asrama Khadijah, tapi seakan ada yang menuntunnya beliau turun di rumahnya “Gus Tho” Wonokromo Kali. Bu Nur masuk rumahnya dan sowan, beliau belum berkata apa-apa, tapi Gus tersebut sudah bilang, ‘kenapa pergi jauh-jauh kalau akhirnya tidak bermanfaat? Mending di negeri sendiri tapi bermanfaat bagi orang lain’ Waktu itu Bu Nur masih bingung, karena teman-temannya di asrama Khadijah sudah merayakan acara perpisahannya. Singkat cerita bu Nur pamitan pulang. Sekembali dari Gus Tho, dalam perjalanan pulang, bu Nur memikirkan perkataan Gus Tho. Sesampai di asrama bu Nur hanya terdiam selama seminggu dan mengambil hikmah dibalik itu.

Baca juga  Haul mbah yai Kalam Juwetkenongo, Nahdlatul Ulama adalah paku bumi Indonesia

Untuk mengisi hari-harinya bu Nur aktif dalam berorganisasi mulai dari IPPNU. Bu Nur menjabat ketua IPPNU cabang Porong, IPPNU Cabang Sidoarjo, menjadi ketua Fatayat Jawa Timur selama 2 peripode dan ketua Muslimat Jawa Timur selama 3 periode. Bu Nur memang sangat gigih, tidak pantang menyerah. Di tahun 1977/1978 waktu itu bu Nur bergabung di salah satu parpol, dan saat itu izin untuk mengadakan acara belum turun, akhirnya hanya mengadakan Rapat Umum. Di sela-sela Bu Nur menyampaikan orasi di podium ada sekelompok orang yang bersenjata lengkap, secara spontan para hadirin yang datang terkejut dan berteriak histeris “Jangan tembak bu Nur…bu Nur hati-hati….” kemudian bu Nur menenangkan para hadirin yang hadir.

Bu Nur Zaenab Noer
Bu Nur di suatu acara tahun 1984

Selain aktif di organisasi, beliau juga aktif di bidang sosial. Ayahandanya ( Yai Noer Hasan) memiliki tanah kosong di daerah Gedang Porong. Tanah itu kemudian diwakafkan dan dijadikan tempat Madin (Madrasah Diniyah Darul Arqam). Santri yang mengaji di Darul Arqam pun banyak. Bu Nur memiliki jiwa sosial yang tinggi, dari santrinya yang mengaji itu banyak dari keluarga yang kurang mampu, dan banyak anak yatim juga. Dari situ Bu Nur terbersit untuk mengasuh anak-anak yang secara perekonomian dibawah garis kemiskinan. Semula tanah wakaf yang dijadikan madin, kemudian oleh Bu Nur dijadikan Panti Asuhan Masyithoh dan beliau sendiri sebagai pengasuhnya.



Di sela-sela kesibukannya, beliau masih menyempatkan waktunya ke Panti Asuhan Masyithoh untuk sekedar ngobrol, berdialog, memeriksa kesehatan anak-anak panti, memeriksa kerapian kamar atupun lemari dan banyak hal yang sekecil apapun tak pernah luput dari pandangan beliau. Beliau benar-benar perempuan hebat. Pagi hari disibukkan dengan aktivitas mengajar di Khadijah, kala itu masih menjadi pengurus Yayasan Khadijah, siang hari rutinitas di Muslimat atau kegiatan di BKIA Muslimat Sidoarjo ( Rumah Sakit Siti Hajar ). Sepulang dari BKIA Bu Nur selalu menyempatkan di panti yang dibinanya. Bu Nur sangat sayang sekali kepada anak-anak panti. Beliau tidak pernah membedakan antara anak-anak panti maupun dengan anak beliau sendiri. Beliau sangat sayang seperti anaknya sendiri. Bahkan putra putri beliau juga sangat akrab dan membaur dengan anak-anak panti. Di panti asuhan beliau tidak hanya sekedar mencukupi kebutuhan secara finansial saja, melainkan juga secara mental, secara rohani maupun secara psikologi. Dialog-dialog sederhana yang dilakukan Bu Nur sangat inspiratif sekali. Sehingga anak-anak yang diasuhnya tidak pernah merasa minder. Bu Nur juga membekali anak-anak asuhnya tentang manajemen, tentang organisasi, dan tentang ilmu kehidupan bermasyarakat. Setiap menjelang Romadlon tiba, anak-anak asuhnya juga dibelajari untuk membuat proposal sumbangan ke berbagai macam instansi. (waktu itu pembiayaan segala kebutuhan anak-anak berasal dari pribadi keluarga Bu Nur, para donatur, dan sumbangan tidak tetap). Berkat didikan Bu Nur, anak-anak Panti Asuhan Masyithoh hidup dan tumbuh menjadi anak-anak yang kuat, tegar, bertanggung jawab, disiplin, dan berakhlakul karimah.

Rutinitas lainnya beliau aktif di pengajian Senenan. Dinamakan senenan karena dilakukan tiap hari senin bakda sholat dzuhur. Setiap hari senin beliau memimpin langsung pengajian tersebut. Bertempat di panti asuhan, bakda dzuhur anak-anak mengaji al-qur’an (menghatamkan 30 juz) di bagi ke orang-orang yang hadir juga. Jama’ah beliau tidak hanya dari desa Gedang saja, melainkan juga ada yang bearasal dari desa Jatirejo, Mindi, Siring, Renokenongo dan Juwet. Setelah menghatamkan al-Qur’an, membaca istighosah dilanjutkan sholat asar dan tausyiah oleh Bu Nur. Di sela – sela mengaji, ada kaleng keliling, untuk biaya tambahan kebutuhan anak-anak.

Begitulah keseharian Bu Nur yang tiada pernah mengeluh lelah. Terkadang anak-anak panti ada yang mijitin beliau tanpa disuruh. Setelah Bu Nur mengundurkan diri dari Yayasan Khadijah, waktu beliau lebih banyak dihabiskan mengurusi anak-anak Panti Asuhan Masyithoh. Bu Nur di bantu dengan putra putri beliau, membekali anak-anak dengan bela diri, kegiatan kemping, kegiatan tadabbur alam, kegiatan pesantren kilat (dilakukan ketika musim liburan tiba) dan masih banyak kegiatan lainnya.

Bu Nur sekarang, di masa senja sudah tidak menjadi pengasuh Panti Asuhan Masyithoh Porong. Beliau menghabiskan waktunya bersama para santrinya di Pondok Pesantren Sunan Kalijaga yang diasuh bersama putranya di Krembung. Beliau juga masih rutin memberikan pengajian pada ibu-ibu di sekitar Krembung. Meskipun secara fisik sudah lemah karena usia, tapi semangat Bu Nur masih menyala-nyala. Beliau juga dikatakan ibu yang berhasil. Ini terlihat dari keempat putra-putrinya menjadi orang sukses. Putra pertama Ir. A. Faizin A.S. lulusan ITS, putri kedua dr. Nur Azizah A.S., sekarang melanjutkan studi di UNAIR untuk mengambil spesialis jiwa, putra ketiga M. Nur A.S. lulusan Brawijaya, sekarang juga mengasuh Pondok Pesantren Sunan Kalijaga, dan putra yang keempat M. Sholeh A.S. seorang huffadz dan lulusan Jombang dan sekarang menjadi pengusaha yang sukses. Bu Nur adalah salah satu dari sekian banyak perempuan yang wajib diberi penghargaan, karena keteladanan beliau, kegigihan beliau, kecerdasan beliau, kesabaran beliau, kehebatan beliau, dan keberhasilan beliau dalam segala hal. Baik dalam lini organisasi, sosial, maupun keluarga. Perjuangan Bu Nur untuk mencetak generasi penerus bangsa tak pernah surut sampai sekarang. Betul-betul perempuan hebat, perempuan luar biasa, perempuan inspiratif bagi semua kalangan.

Disarikan dari berbagai sumber dan wawancara bersama Bu Nur Zaenab Noer di desa Lemujud – Krembung, Maret 2015

Oleh : Siti Mardhiyah, M.Pd.I
PAC FATAYAT NU Porong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *