Terbentuknya, Tradisi dan Nilai Muslim Nusantara

Terkait kapan hadirnya Islam pertama kali di Nusantara, belum ada titik temu yang pasti. Merujuk dari rekam jejak sejarah yang sudah tertulis, awal mulanya kehadiran Islam di Nusantara melalui proses dakwah bil ḥal atau mission sacre, yang dahulu disyiarkan oleh para pedagang sekaligus menjadi mubalig pada waktu itu.

Dari berbagai referensi yang sering dijadikan sumber rujukan tentang terbentuknya Muslim Nusantara, memang tidak terlepas dari konteks rangkaian panjang sejarah dan adanya dinamika Islam di Indonesia hingga berkembang sampai saat ini. Secara teoritis dalam ruang akademik, masuknya Islam di Indonesia terdapat empat teori yang menjadi rujukan utama: 1). Islam yang berasal dari Arab, 2). Islam yang berasal dari India, 3). Islam yang berasal dari Cina; dan 4). Islam yang berasal dari Persia. Teori ini didasarkan pada kemiripan tradisi dan arsitektur bangunan di Nusantara dengan ke empat wilayah tersebut. Termasuk juga adanya kesamaan mazhab Shafi’i dan beberapa kesamaan lainnya yang ada di Indonesia. Sehingga dari keempat teori Islam masuk ke Nusantara nampaknya juga perlu dilihat dari sisi bukti sejarah, waktu, tempat yang di datangi dan siapa yang membawanya pada saat itu.

Terbentuknya Muslim Nusantara tidak dapat kita diprediksi secara pasti, dan kapan awal mula Islam datang di Nusantara. Sebab dari rangkaian napak sejarah yang ada, pernah ditemukan peninggalan berupa batu nisan dengan bertuliskan Arab di bagian barat Nusantara. Terhitung sejak berabad-abad keberadaannya batu nisan ini masih menjadi misteri. Pertanyaannya, apakah batu nisan itu menjadi suatu tanda munculnya Islam pertama kali yang dibawa oleh pedagang muslim? ataukah hanya sebuah batu pemberat yang dibuang oleh kapal dagang kaum Islam kala itu? Sedangkan dalam serat Babad Tanah Jawi bahwa Islam hadir pertama kali di kawasan Nusantara di pulau Jawa. Sebab pada waktu itu pulau Jawa-lah yang sudah mengalami peradaban yang besar sebelumnya dibandingkan dengan pulau-pulau yang lain. Oleh karena itu, versi Babad Tanah Jawi ini menyebutkan Islam hadir pertama kali di pulau Jawa, lantaran pulau Jawa pada waktu itu sudah menjadi pusat peradaban Islam. Terdapat juga ungkapan seorang sarjana Harry W Hazzard, tentang hadirnya Islam di Nusantara yaitu pada abad ke-7. Ini adalah beberapa versi yang sementara bisa kita jadikan sumber rujukan yang menjadikan adanya Muslim Nusantara.

Baca juga  Tahun politik, apakah warga NU boleh berpolitik?

Simpulnya belum ada titik temu yang pasti, dari adanya beberapa versi tentang kapan hadirnya Islam di Nusantara. Dalam rekam jejak Sejarah yang sudah tertulis rapi, asal mula hadirnya Islam di Nusantara melalui proses dakwah bil ḥal atau mission sacre yang cukup panjang. Proses dakwahnya ini disyiarkan oleh para pedagang sekaligus menjadi mubalig pada waktu itu. Strategi dakwahnya para mubalig ini menyiarkan Islam dengan menerapkan nilai-nilai keislaman, seperti sikap santun terhadap siapa saja, suka menolong, menjaga kebersihan badan, tempat ibadah, bersikap sederhana, ketika bergaul dengan masyarakat lokal menggunakan bahasa yang santun dan saling menghormati satu sama lain. Bahkan juga dengan membantu pengobatan dan saling menyayangi manusia maupun lingkungan sekitar. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, pada umumnya para mubaligh ini mengajarkan tata krama yang baik untuk menciptakan keseimbangan dalam hidup. Timbal baliknya, masyarakat lokal mulai tertarik dengan Islam, yang pada waktu itu masyarakat masih memeluk Hindu-Buddha, pada tahap berikutnya mulai muncul ingin mengenal Islam lebih dekat dan selanjutnya mulai mau belajar Islam kepada para mubaligh tersebut. Sehingga pada waktu itu para mubaligh dengan mudahnya menarik masyarakat lokal yang masih menganut Hindu-Buddha untuk memeluk Islam tanpa adanya paksaan.

Namun perlu menjadi catatan bersama kita, ada sumber rujukan lain menyebutkan bahwa sebetulnya proses Islamisasi di Nusantara ini bukan merupakan hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Sebab, masyarakat pada waktu itu sudah menganut Hindu dan tingkat religiusitasnya terhadap ajaran agamanya sangat kuat sekali. Dalam versi lain juga tersebutkan bahwa Islam hadir di Nusantara tidak lepas dari peran Sayyid Muhammad Al-Bakir yang dikenal dengan Syekh Subakir, yang pada waktu itu menyiarkan Islam dengan memengaruhi penguasa-penguasa kerajaan terdahulu. Meski demikian, Islam pada waktu itu belum mengalami pertumbuhan yang signifikan. Ketika kehadiran Walisongo di bumi Nusantara, barulah Islam mengalami perkembangan yang signifikan dan hingga akhirnya penduduk peribumi banyak yang menjadi muslim.

Baca juga  RAMADAN: Membentuk Sapta Jayabinangun

Kehadiran Walisongo ini menjadi tonggak awal munculnya Muslim Nusantara. Ciri khasnya adalah adanya perpaduan antara unsur Islam dan budaya setempat. Walisongo dalam mensyiarkan Islam, sangatlah bijak dengan menghormati budaya yang sudah melekat pada masyarakat Jawa sebelumnya. Termasuk salah satunya adalah strategi dakwah Walisongo dengan membangun teologi Islam menggunakan media wayang tanpa menyinggung perasaan masyarakat lokal yang kala itu masih menganut Hindu atau Buddha. Wayang sendiri merupakan kebudayaan khas Hindu-Buddha yang diadopsi oleh Walisongo sebagai strategi berdakwah pada waktu itu. Dengan melalui media wayang inilah Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga, memanfatkannya sebagi sarana untuk memperkenalkan ajaran Islam. Dimana pada mulanya, wayang berisikan teologi dan filsafat Hindu yang kemudian oleh Walisongo dikonstruk ke dalam teologi Islam. Hingga saat ini, cerita pewayangan masih menggunakan kisah-kisah dari kitab Ramayana dan Mahabaratha yang bernuansa Hindu. Kemudian kisah-kisah pewayangan dari kitab Hindu tersebut diadopsi oleh Walisongo dengan memasukkan nilai-nilai atau unsur kesilaman untuk membangkitkan kadar keimanan setiap muslim.

Beberapa produk hasil modifikasinya Walisongo dalam mengkonstruksi filsafat atau teologi Hindu menuju Islam antara lain pemaknaan Jimat Kalimah Shada yang artinya Jimat Kali Maha Usada, yang sebelumnya bernuansa teologi dimodifikasi menjadi “Azimah Kalimat Shahadah.” Frase ini menunjukkan pernyatan seseorang tentang keyakinan tiada Tuhan Selain Allah dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusannya. Jika sebelumnya jimat dalam perpektif Hindu berwujud benda yang dianggap sebagai pemberian dari dewa, akan tetapi jimat dalam perpektif Islam yang di bawa oleh Walisongo hanyalah sebagai pernyatan tentang keyakinan terhadap Tuhan (Allah) dan rasul-Nya. Sebagai muara utama untuk menjadi seorang Muslim.

Melalui media pewayangan, Walisongo juga menambah beberapa varian cerita yang bertema tentang visi sosial kemasyarakatan Islam, yang mencakup sistem pemerintahan, pola kehidupan pribadi dan keluarga, hubungan dalam bertetangga. Termasuk suatu hal yang menarik lagi adalah Walisongo menambah figur-figur baru yang sebelumnya tidak ada di pewayangan ala Hindu, yaitu memunculkan figur punakawan yang artinya mentor yang bijak bagi Pandawa. Singkat cerita yang disajikan oleh perilaku punakawan tersebut adalah berisi pengenalan terhadap ajaran Islam, baik mencakup akhlak, fikih, dan syariat. Semuanya ini adalah pondasi sebagai seorang Muslim sesuai tuntutan Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Baca juga  Zeolite, Mineral Natural Yang Menakjubkan

Selain media tersebut di atas, Walisongo juga menyampaikan ajaran Islam dengan media seni sastra seperti halnya karya Sunan Kalijaga yang tertulis dalam Serat Linglung. Terdapat juga di beberapa kitab babat, hikayat, serat, yang muncul di era para wali seperti halnya Sunan Bonang yang menulis beberapa suluk antara lain Suluk Khalifah, Suluk Wijil, Suluk Wasiyat, Suluk Regol, Suluk Kaderesan, Suluk Pipirangan dan beberapa suluk lainnya yang sarat dengan ajaran Islam.

Dari perjalanan dakwah Walisongo tersebut, sudah jelas bahwa kehadiran Islam di Nusantara mampu berinteraksi atau bersimbiosis mutualisme dengan budaya Masyarakat setempat. Strategi dakwah Walisongo mampu mencuri perhatian masyarakat lokal untuk tertarik terhadap ajaran Islam. Dimana masyarakat lokal pada waktu itu, tidak serta merta diposisikan sebagai objek yang salah dan perlu dibenarkan secara bertahap. Sebab dalam ajaran Islam itu sendiri, nilai-nilai yang bersifat universal seperti kemanusiaan, persamaan dan keadilan menempati cakupan yang begitu luas dan butuh proses yang cukup panjang untuk mengurainya dengan benar. Oleh karena itu, strategi dakwah Walisongo tersebut menggunakan pewayangan sangat tepat dan mampu menjadikan ruang ideologi masyarakat lokal untuk masuk dan mencintai Islam dengan sebenarnya tanpa adanya paksaan.

 

Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I

Dosen PAI-BSI (Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner) Pascasarjana IAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *