Fiqih berorganisasi dan berkomunitas di era digital

FIQIH ORGANISASI. Kesempurnaan ajaran Islam tertuang secara teoritis dalam dawuh-dawuh Rasulullah SAW , sedangkan secara praktis terejawantah pada gaya hidup (ahwal) para pengikutnya secara sambung-menyambung yang diwarisi oleh para wali, ulama, pejuang sertanegarawan hingga hari ini.

Salah satu resep untuk menjaga warisan nabi yang berupa sunnah (pergerakan) tersebut dan sebagai benteng persatuan ditengah era yang semakin abai akan batas-batas etika dan nilai-nilai kemanusiaan adalah mengkaji ulang dan mempraktikkan konsep pergerakan yang dirumuskan langsung oleh baginda nabi. Diantara konsep pergerakan nubuwwah adalah hadis berikut ini :

عن أبي هريرة رضي الله عنه، عن رسول الله عليه السلام قال: سبعةٌ يُظِلُّهم اللهُ في ظلِّه يومَ لا ظلَّ إلَّا ظلُّه: إمامٌ عادلٌ وشابٌّ نشَأ في عبادةِ اللهِ تعالى ورجلٌ ذكَر اللهَ خاليًا ففاضت عيناه ورجلٌ ـ كان ـ قلبُه معلَّقٌ في المسجدِ ورجُلانِ تحابَّا في اللهِ: اجتمَعا عليه وتفرَّقا ورجلٌ دعتْه امرأةٌ ذاتُ منصبٍ وجمالٍ إلى نفسِها فقال: إنِّي أخافُ اللهَ ورجلٌ تصدَّق بصدقةٍ فأخفاها حتَّى لا تعلَمَ شِمالُه ما تُنفِقُ يمينُه

Abu Hurairah mengatakan rasulullah SAW bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari dimana tak ada lagi tempat bernaung selain dibawah naungan-Nya. Mereka adalah :

Imam yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam peribadatan kepada Allah, seorang laki-laki yang berdzikir kepada Allah dalam keheningan kemudian meneteskan air mata, seorang laki-laki yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai (menanam kebaikan bersama) karena kepentingan Allah, Seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita cantik untuk berzina lalu ia berkata sesungguhnya aku takut kepada Allah, dan seorang laki-laki yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanannya.” (HR An-Nasa’i dan Ibnu Hibban).

Dari tujuh golongan terpilih itu bagi saya yang menarik adalah sepasang manusia yang saling menjalin hubungan baik karena Allah. Dalam teks hadits tersebut, kita temukan kalimat “tahabba” yang mana terambil dari akar kata “hubb”.

“Hubb” sendiri sering diartikan “cinta”, kasih sayang, atau sejenisnya. Kata “Hubb” ini dalam bahasa Arab memiliki akar yang sama dengan kata “habbah” (bibit). Artinya, ada sepasang atau sekolompok orang, yang saling menanam bibit kebaikan untuk sesama. Yang namanya bibit, tentu membutuhkan proses untuk bertumbuh. Agar tidak mati, bibit itu harus dirawat, disiram, dipupuk, disapa serta didoakan. Bibit ini adalah keterhubungan kita dengan bermacam kelompok dengan warna-warni karakter manusia didalamnya.

Filosofi kata “Hubb hingga Tahabba

Kata “hubb” yang berubah menjadi “Tahabba” – dalam riwayat diatas – Kata mengikuti wazan (pola) “Ta FA’ A La”. (تَفعّل )

Dalam ilmu bahasa Arab, perubahan pola tersebut mengalami pemuaian makna sebagai berikut:

Makna pertama :

Takalluf (proses sinkronisasi):

Yaitu berusaha menerima kekurangan pihak lain meskipun berat, dengan cara melihat, menemukan dan mengakui kelebihan-kelebihan pihak tersebut. Akan tetapi jika hanya melihat kekurangan semata, berarti kita tidak adil dengan diri kita sendiri. Sebab kita diberi dua mata, bukan satu mata. Salah satu makna “Dajala” (yang terhubung dengan kata dajjal) adalah menutupi. Artinya orang yang cara pandangnya berat sebelah, ia sama saja hanya melihat dengan satu mata, dan menutup matanya yang lain.

Jika kekurangan dan kelebihan telah kita timbang dan kita sandingkan secara seimbang, maka akan ketemu titik tengahnya, titik ” tongkat Musa” yang bisa membelah dua samudera. Yaitu samudera kekurangan dan kelebihan kawan kita, pasangan kita, patner kita dll.

Makna ke dua dari wazan Tafa’ala : Soiruroh (proses pemantapan) :

Setelah kita berkomunikasi, berinteraksi dengan pihak lain yang kita anggap merepotkan Kita Akan mulai memahami, menerima dan memproses jiwa kita agar bisa selaras dengan pihak tersebut. Ahirnya kita bisa memaklumi dan menerimanya apa adanya. Karena bagaimana pun hebat dan tinggi ilmu seseorang, ia tetaplah manusia yang memiliki kekurangan dan sangat rentan dengan kealpaan. Dengan begitu pihak lain yang kita anggap merepotkan itu, akan merasakan kedamaian, keselarasan serta kenyamanan saat berinteraksi dengan kita. Nah, saat ia membuka diri untuk menerima masukan, berarti energi positif kita telah masuk dan tersambung dengan pihak pihak yang semula kita anggap bermasalah itu. Menang tanpo ngasorno kata orang Jawa, kita mampu menaklukkan pihak tersebut tanpa ada konflik, kemenangan tanpa ada dendam dan jumawa. Di dunia ini hanya ada lawan, bukan musuh.

Makna ketiga :

Makna terakhir dari wazan “Tafa”ala” dalam kaitannya dengan kata “Tahabba” adalah pancaran, karakter, ciri khas, kualitas.

Artinya setelah karakter kedamaian serta ketenangan telah menyatu dengan langkah dan perilaku kita, maka energi itu akan memancar keluar, memantulkan kedamaian serta keteduhan.



Dimanapun kita berada, Dengan siapapun kita berinteraksi, keteduhan inner- energi (energi dari dalam) akan mendominasi.

Konsep ini adalah pondasi, rumusan, dan strategi bagi setiap anggota komunitas lebih-lebih pemimpinya dalam berinteraksi dengan apa saja, baik itu hal-hal yang menjengkelkan ataupun menyenangkan, baik dengan benda mati ataupun benda bernyawa.

Dengan begitu kata “rojulaani tahabbaa fillah” bisa kita terapkan secara bertahap dalam proses kita berinteraksi dengan kenyataan hidup, utamanya kenyataan yang kita hadapi sehari-hari.

Baca juga  Memandang pekerjaan sebagai bagian hukum alam

Makna lain dari kata Rojul

Istilah “Rojul” sendiri, setahu saya .. dalam bahasa Arab bukan hanya bermakna “lelaki” dalam arti lawan kata dari wanita.

Akan tetapi “Rojul” bisa bermakna “maskulinitas”, sikap-sikap ke-lelakian، kedigdayaan, kekuatan, kesewenang-wenangan, sikap enggan dipandang rendah.

Nah, jika ada “rojulani” dua orang yang saling merasa hebat, berilmu, dan terhormat namun rela untuk saling merendahkan diri dengan ber tahabbaa fiLLah.. (saling menghargai karena Allah) maka muncullah jiwa “feminisme” , keselarasan, dan keterpaduan.

Akhirnya dari perkawinan dua energi yang berupa “maskulinitas”_ (ke-lelakian, ketegasan,) dan energi “feminis” (ke-ibuan, kelembutan) tersebut akan melahirkan “seorang” bayi bernama “peradaban”, keakraban, sikap saling membantu dan gotong royong.

Dalam sebuah riwayat di sebutkan :

من تواضع لله رفعه الله ومن تكبر وضعه الله .

Orang yang merendahkan diri (bersikap lembut dengan mengontrol karakter ke-lelakianya,) karena Allah, maka Allah akan mengangkat levelnya. Sedangkan orang yang takabur (merasa lebih, menang-menangan, jiwa ke-lelakianya nya liar tanpa kontrol) maka Allah akan merendahkan nya. Maka kata kunci untuk membentuk komunitas yang kokoh dan berdaya adalah sikap-sikap saling menerima, saling memaklumi, dan saling membantu dalam rangka menyemai kebaikan bersama sebagai sesama hamba Tuhan yang diberi amanah untuk mengelola kehidupan dan menjaga perdamaian.

 

Oleh M. Muhammad Sholah (anggota Aswaja NU center Sidoarjo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *