Menimbang faham aswaja sebagai kebutuhan dalam beragama

Menimbang faham aswaja sebagai kebutuhan dalam beragama. ASWAJA sebagai kepanjangan dari Ahlussunah Wal jama’ah bukanlah aliran, sekte, atau madzhab yang menambah atau mengurangi ajaran islam akan tetapi sebaliknya, aswaja adalah usaha generasi setelah zaman Rasulullah agar tetap terhubung dengan kemurnian ajaran Islam dengan sesuatu yang sering kita sebut sebagai Sanad.

Hal ini secara jelas diisyaratkan oleh Rasulullah sendiri dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thobarani :

 وقال صلى الله عليه وسلم أللهم ارحم خلفاءي قيل من خلفاؤك قال : الذين يأتون من بعدي يروون أحاديثي، ويعلمونها الناس. :

Nabi Muhammad SAW bersabda : Semoga Allah merahamati khalifah – khalifahku. Kemudian ada yang bertanya siapakah khalifah-khalifah mu itu? . Beliau menjawab, mereka adalah orang-orang yang hidup setelah zamanku yang giat meriwayatkan hadits-haditsku dan mengajarkanya kepada masyarakat umum.

Baca juga  Kajian Aswaja, pentingnya koreksi diri dan keutamaan shodaqoh

Dalam riwayat lain dikatakan :

عَنْ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْعَذَرِي قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَرِثُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ (رواه البيهقي)

Dari Ibrahim bin Abdurrahman Al-Adzari, ia berkata Rasulullah SAW bersabda Ilmu (Islam) ini akan diwarisi oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi, mereka akan membersihkan dari penyimpangan makna oleh para penyeleweng, mensucikannya dari ajaran-ajaran yang bukan bagian dari agama oleh para perusak (seperti para orientalis) dan meluruskan dari penyimpangan harfiyah atau maknawiyah oleh orang-orang bodoh” (HR Al-Baihaqi).



Mengomentari dua hadits diatas, Imam Nawawi menyimpulkan bahwa pada setiap generasi Allah akan menyiapkan kader-kader ulama yang adil dan amanah dalam rangka menjaga kemurnian ajaran Islam dan meluruskan faham-faham yang melenceng sehingga agama ini tetap mampu bertahan dan mewarnai setiap gerak peradaban manusia.

Hal itu adalah bukti nyata dari apa yang disabdakan Al Qur’an dalam surat Al Hijr ayat 9 :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ.

“Sesungguhnya, Kamilah yang (bertanggung jawab) menurunkan Al Qur’an maka hanya Kami-lah yang mampu menjaganya”.

Kata ganti “kami” (nahnu) dalam ayat tersebut mengisyaratkan sebuah “kerjasama” antar personil umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW dimana Al-Quran tidak hanya dipuja-puja sebagai mukjizat tapi juga difungsikan sebagai pedoman hidup agar Al Qur’an berdaya dan meluas manfaatnya. Hal tersebut akan dapat terwujud jika umat Islam terus-menerus menggali, mengembangkan, serta mensyiarkanya dalam setiap momen kehidupan.

Al Qur’an tidak melulu dipandang sebagai mushaf yang hanya dilantunkan pada setiap acara, namun juga sebagai Al Furqon (pembeda hal yang baik dan buruk), al-zikr (pengingat, hingga menjadi al-kitab (jaminan kepastian) yang telah terbukti keberhasilanya dalam mengubah dunia dari kegelapan menjadi terang-benderang.

 

Sumber Bacaan:Al Quran al Karim.

Al Qasimi, Jamaluddin. Qawaid al Tahdits , Beirut: Daar Al kutub Al ilmiyyah.

Ulayya, Sholah.( 2022). Semesta Diri : Membincang Anatomi Ruhani dan Misteri Kesejatian Diri. Yogyakarta: Sabda Pustaka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *