Menyelami makna Rabb, murabbi dan tarbiyah. Catatan singkat mengenang sang guru dalam rangka maulid nabi dan haul syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi
Jangan sampai beras yang kau simpan itu menjadi berhalamu!! yang hatimu menjadi tentram karena keberadaanya.
Begitu kira-kira pesan KH.Ahmad Nafi’ Abddillah dalam pengajian rutin malam selasa di masjid kampung kami. Pesan yang begitu singkat dan sederhana namun masih menancap kuat hingga hari ini.
Memang dalam hidup ini ada segelintir orang yang meskipun sudah berpulang dan cenderung terlupakan akan tetapi wujudnya masih begitu nyata. Hanya seutas pesan, seberkas kesan dan segenggam kenangan yang jadi semacam obat pelipur lara tatkala sosok tersebut begitu dirindukan.
Ojo terlalu mikir barang seng durung wujud, marahi stress.
(Jangan berlebihan menggadang-gadang dan memeras pikiran untuk sesuatu yang belum terjadi, nanti bikin kamu stress). Pesan beliau pada kesempatan yang lain.
Guru bagi saya adalah kalimat suci yang tidak sembarang orang boleh menyandangnya, apalagi mengaku-ngaku dan menyematkan nama itu dilengan bajunya.
Tuhan sendiri ketika menitahkan lima ayat pertama pada surat Al-Alaq dengan bangga menasbihkan diri-NYA sebagai maha guru.
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ
خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ
اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ
الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ
عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ
Pada ayat ke 4 dan ke 5 surat Al – Alaq tersebut Allah menyatakan bahwa Dia telah mentransfer ilmu untuk pertama kali melalui Al Qalam , alladzi ‘allama bil qalam. Jika anda perhatikan kata kerja ‘allama sengaja dibiarkan tanpa objek (maf’ul). “Dialah yang mengajarkan ilmu dengan perantara al-qalam”.
Sedangkan pada kata kerja yang kedua, Allah menyebutkan objek penerima ilmu-Nya tersebut, yakni Al insan. “Dialah yang mengajarkan pada manusia ilmu pengetahuan yang belum ia ketahui”.
Bukankah yang memberikan ilmu pada kita dengan suka rela dan menyiapkan semua perangkat pembelajaran kita sebut ia sebagai guru?
Pengalaman adalah guru terbaik ! Kata sebuah pepatah.
Ketika wahyu pertama kali turun pada Nabi Muhammad Shallah alaih wasallam, Tuhan tidak mengatakan Iqra’ bismillah akan tetapi lebih memilih menggunakan kata bismi rabbik.
Lantas apa sebenarnya makna Rabb itu? Dan apa rahasia dibaliknya?
Dalam kamus Al-Ma’any kata Rabb ternyata memiliki cakupan makna yang cukup luas dan mendalam.
Kata Rabb bukan hanya bermakna Tuhan sebagaimana terjemahan yang selama ini sering kita dengar, akan tetapi kata Rabb bisa bermakna :
– yang bertanggung jawab
– yang merawat
– yang menata dan mendidik
– yang memliki
– yang menjaga dan mengayomi
Dari sekian makna yang terhubung dengan akar kata “Rabb” ini kita kemudian mafhum mengapa Tuhan memiliki 99 Asma (“karakter”, sifat ) sebagai perwujudan (tajalli) dari status-NYA sebagai sang maha pencipta, perawat, dan penjamin keberlangsungan semua makhluk-Nya , termasuk didalamnya manusia dan jin.
Guru, orang tua, dan Tuhan adalah tritunggal penggerak roda kehidupan spiritual manusia. Kita tidak mungkin mengenal Tuhan jika tidak dikenalkan oleh orang tua dan guru-guru kita. Begitu juga para orang tua kita terdahulu mereka mengenal Tuhan dari kakek buyut dan leluhur mereka.
Jika para orang tua dan guru bertugas mengasuh dan mengasah jasmani serta rohani anak didiknya, maka Tuhan adalah sang pencetus ide sistem pola asah, asih dan asuh tersebut. Dalam surat Al Fatihah ayat ke dua, Allah mengatakan bahwa Dia adalah Rabb al – alamin yang artinya sang maha pengatur atas sistem gerak seluruh ciptaannya yang mana dititahkan pada mahluk bernama manusia sebagai pelaksana utama tugas ke-khalifahan sekaligus sebagai bukti penghambaanya atas semua anugerah dan potensi yang telah ia terima.
(lihat surat Al-A’raf : 172, Al Baqarah : 30, dan Al Ahzab:72).
Citra saling ketergantungan dan keterhubungan dalam pola asah, asih, dan asuh itu adalah sistem ketuhanan yang abadi dan tak akan mungkin lagi tergantikan oleh sistem apapun buatan manusia.
Hal ini adalah konsekwensi dari keabadian ajaran Islam, kesempurnaan serta keluasan cakupanya yang tidak lagi dibatasi oleh daerah tertentu sebagaimana ajaran nabi-nabi terdahulu, akan tetapi mencakup seluruh dimensi ruang dan waktu tergantung kebutuhan zaman dan putaran peradaban.
Terkait dengan kelestarian ajaran Islam tersebut, dengan tegas Allah berfirman :
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون. (الحجر ٩).
Sesungguhnya kamilah yang mula-mula menurunkan Al Qu’ran (sebagai sistem kehidupan) maka kamilah yang bertanggung jawab dalam menjaga