Tiga Poin Inti Fiqih Dakwah Di Era Industri Dalam Bingkai Aswaja An-Nahdhliyah

Poin pertama :

Terkait istilah era 5.0 ,  Sahabat Ali Bin Abi Thalib Pernah mengatakan :

العالم بزمانه، لا تهجم عليه اللوابس .

Orang yang benar-benar mengenal zamannya, tidak akan bisa dikelabuhi oleh rentetan peristiwa  yang ambigu dan menipu ( sebagai citra zamannya).

Pesan Sahabat Ali kepada puteranya Hasan :

يا بُنيّ إنّه لا بدّ للعاقل من أن ينظر في شأنه، فليحفظ لسانه، وليعرف أهل زمانه.

Wahai anakku, orang berakal seyogyanya harus selalu sadar akan dirinya ( potensinya), sehingga ia mampu menjaga lisannya, dan yang paling penting adalah mengenal para tokoh yang mampu berperan dan mewarnai zamannya.

5.0 adalah istilah untuk menandai sebuah siklus zaman yang mana manusia menjadi aktor utamanya. Dimulai  era 1.0 ketika ditemukan mesin uap dan mulai menyaingi tenaga manusia. Hingga pada puncaknya era 4.0 dimana manusia benar-benar merasa tidak bisa hidup tanpa mesin. Revolusi industri 4.0 merupakan era  yang memungkinkan seluruh elemen masyarakat di dunia untuk saling berkomunikasi kapan saja dengan memanfaatkan teknologi internet. Kemudahan ini mendorong tercapainya kreasi nilai baru. Semua kemajuan dan perubahan yang dibawa revolusi industri 4.0 mungkin membuat banyak orang merasa  tidak ada revolusi lagi yang bisa terjadi.

Inti dari semua revolusi diatas tak lain adalah memudahkan dan menyejahterakan manusia dengan pendekatan berbeda. Namun, bagaimana kah faktanya di lapangan?. Apakah benar-benar menyejahterakan ataukah sebaliknya?

Poin kedua :

Keislaman dan kebangsaan adalah sepasang sayap yang tak dapat dipisahkan. Sudah menjadi hukum kelaziman bahwa sebuah kelompok yang besar punya ambisi untuk menguasai kelompok yang kecil. Dan sebaliknya kelompok yang merasa kecil dan tertinggal sedikit banyak akan meniru gaya hidup kelompok yang besar itu. Hubungan saling memengaruhi ini telah ada sejak zaman nabi dimana dua kerajaan besar , Romawi dan Persia selalu berebut poisis untuk menjadi yang terkuat dan terbesar. Posisi Makkah saat itu diuntungkan oleh lokasi yang tidak strategis untuk dicaplok dan dijadikan daerah jajahan. Dikarenakan kondisinya yang tandus dan tidak potensial secara ekonomi. Hal itu menjadikan penduduk Makkah tumbuh secara alamiah dan mandiri tanpa campur tangan asing. Sehingga menciptakan keterikatan dan persatuan kesukuan yang kuat. Satu sisi hal itu memang kurang baik, sebab sering menjadi pemantik  peperangan antar suku, namun disisi lain hal ini menjadi kelebihan suku-suku di Arab yang bangga dengan kesukuan dan kelompoknya. Kelak setalah Islam datang, kekuatan kesukukan yang telah melebur dalam cinta-kasih ke-Islaman itulah salah satu faktor yang menjadikan Islam berjaya dan mengalahkan dua raksasa Romawi dan Persia.

Baca juga  ASWAJA CENTER : Kunci Dari Setiap Permasalahan Adalah Merelakan

Poin ketiga :

Jika kita berkaca sebagai umat Islam Indonesia dengan ragam suku, aliran, dan potensinya maka jalan satu-satunya untuk mengimbangi kekuatan “penjajahan” industri 5.0 adalah dengan kembali pada konsep “Ahlu Sunnah Wal Jama’ah”. Ahlu artinya keluarga, kesatuan suku -bangsa. Sunna adalah sistem awal bagaimana Islam dibangun di Makkah dan Madinah sehingga berjaya mengimbangi bahkan mengalahkan kekuatan dari luar. Sedangkan Al jama’ah adalah semangat untuk Saling bekerjasama  untuk kemaslahatan bersama serta mengikis potensi perpecahan yang sering muncul dalam sebuah kelompok dengan latar belakang yang berbeda.Hal ini meniscayakan ketepatan dalam penempatan tugas bagi masing-masing anggota Agar mampu menjalankan tugasnya secara optimal.

Al Qur’an sejak jauh hari telah memberikan konsep persatuan dan kesatuan tersebut, misalnya konsep musyawarah ( Surat Asyura : 38), Gotong royong ( Al maidah: 2), Adil ( Al maidah : 8), sekelompok umat dengan ideologi faham yang tengah-tengah (Ummatan Wasatan , al Baqarah; 143).

Seluruh karakter ideal Ummatan Wasatan diatas tentu harus dibangun dan  dimulai dari bawah, dari satuan terkecil , mulai lingkup pribadi, keluarga, desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, hingga negara. Rasulullah pun bersabda ; Ibada’ Binafsik, mulailah dari dirimu sendiri, Istafti Qalbak mintalah fatwa pada hatimu, Kun Fiddunya, Ka’annaka Gharib , jadilah engkau layaknya orang asing di dunia, dan banyak sekali hadits-hadits lain yang mengisyaratkan tentang seni membangun sebuah umat yang dimulai dari mental dan ruhani terlebih dahulu.

Maka tidak aneh jika Imam Ghazali dalam risalah “Kimya’ Assadah” mengibaratkan sosok manusia layaknya kerajaan dimana hati adalah rajanya, Akal menjadi menterinya, panca indera sebagai tentaranya, dan nafsu sebagai bahan bakarnya. Jika seseorang mampu mengelola “kerajaan” kecil dalam dirinya, maka  sangat dimungkinkan ia siap untuk mengatur “kerajaan” dengan skala yang lebih besar.

Baca juga  Kajian Aswaja, pentingnya koreksi diri dan keutamaan shodaqoh

Sebab ia telah mampu menggabungkan dua modal yang menjadi syarat utama dalam mengelola alam semesta yakin, ke-Khalifahan (Senin kepemimpinan) dan ke-hambaan. Ke-Khalifahan adalah simbol kekuatan, kedigdayaan, dan keberanian, sedangkan ke-hambaan adalah lambang kelembutan, kerahmatan, dan ketundukan pada sang maha pencipta. Seseorang yang memiliki dua modal ini secara penuh menyadari bahwa khilafah di bumi adalah amanah.

Karakter utama Seorang khalifah bukanlah  menguasai tapi mengayomi, merawat bukan melaknat, dan melestarikan bukan menghancurkan. Para Khalifah Allah di bumi adalah mereka yang meneruskan ajaran-ajaran ke-rahmatan bagi seluruh alam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabat, dan Tabi’in.

Meskipun pada mulanya mereka hanya kelompok kecil yang tidak diperhitungkan, namun pada akhirnya Islam hingga hari ini terus berkembang dan menjadi Agama yang bisa diterima oleh siapapun dan dimanapun. Oleh karenanya sangat masuk akal jika seorang ilmuan barat, Michael Hart memilih Rasulullah Muhammad sebagai sosok nomor satu yang paling berpengaruh sepanjang sejarah kehidupan manusia.

Narasumber : M. Sholah Ulayya.
(Anggota AswajaNuCenter Sidoarjo, Peneliti Pusat Studi Kecerdasan Kosmik Jatim )