Seorang anak bertanya pada ayahnya :
“Yah.. aku lihat ayah setiap hari pergi pagi dan pulang malam, Kata ayah itu demi keluarga.
Ayah mencari nafkah untuk kita semua, apakah nanti setelah dewasa aku akan seperti ayah”?
Sambil tersenyum bercampur iba, sang ayah menjawab.
” Tidak anaku, kamu bisa saja lebih hebat dari ayah.kamu bisa mendapatkan Rizki mu dengan lebih mudah, asal kamu tahu apa itu Rizki dan bagaimana cara kerja rezeki tersebut!” .
“Nah,. Kalau begitu, tolong beri tahu aku apa itu rezeki dan bagaimana agar aku bisa dikucuri rezeki yang melimpah supaya bebanku nanti lebih ringan tidak seperti yang ayah alami sekarang”.
Sontak anaknya.
###################
Dialog diatas adalah cermin bahwa sebenarnya sebelum kita mencari rezeki, terlebih dahulu kita harus mengenal makna rezeki, dari mana sumbernya, dan apa fungsinya bagi kehidupan kita.
Bagaimana Rasulullah memandang rezeki?
Dalam sebuah Hadis riwayat Imam Tirmidzi Rasulullah bersabda :
من أصبح منكم آمنا في سربه معافى في جسده عنده قوت يومه فكأنما حيزت له الدنيا بحذافيرها « (الترمذي).
Barangsiapa yang bangun pagi dan merasa terjamin keamanannya (lingkungan dan keluarga nya), sehat jasmani nya, ia juga memiliki apa yang bisa dimakan pada hari itu, maka seakan-akan ia telah di beri nikmat sama nilainya dengan dunia beserta isinya. (HR: Tirmidzi).
Dari kalimat yang singkat ini, Nabi SAW. Telah mampu merumuskan logika Rizki dengan mudah dan ringan.
Pertama : rezeki terbaik adalah keamanan dalam lingkup terdekat. Keluarga, RT/RW, Desa, Negara dan seterusnya.
Apa gunanya uang banyak dalam kondisi perang dan konflik?.
Apa gunanya saldo melimpah jika kita merasa terancam jiwa dan harta benda kita?
Maka nikmat pertama yang harus disyukuri adalah kondisi dimana kita bisa berangkat kerja dengan aman, mengantarkan anak-anak berangkat ke sekolah dengan sukacita, menyaksikan istri melaksanakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
Kedua : rezeki terbaik adalah kesehatan jasmani.
Apa gunanya aset bermiliar-miliar jika kondisi fisik melemah diatas ranjang rumah sakit?
Sedikit demi sedikit aset-aset itu akan menyusut untuk membeli nikmat yang berupa kesehatan itu.
Berapa harga yang harus dibayar agar bisa pulih kembali seperti sediakala? berapapun uang akan di keluarkan demi sebuah kesembuhan dan hidup yang normal seperti sediakala.
Akan tetapi kehidupan yang normal itu seringkali melalaikan dan menenggelamkan seseorang dalam target-target duniawi.
Setelah fisiknya menurun, barulah ia tersadar berapa harga yang harus ia bayar untuk sembuh.
Ketiga : rezeki terbaik adalah kebutuhan yang cukup untuk hari tersebut.
Mengapa harus ada kalimat “rezeki untuk hari itu”?
Sebab kita tidak pernah tahu, apakah Allah masih memberikan kita kehidupan pada hari berikutnya.
Jikalau kita masih diberi usia pada esok hari, tentu Allah sudah menyiapkan rezeki untuk kita pada hari berikutnya.
Maka rumusnya adalah, cerdas mensyukuri yang ada dan cerdas merelakan apa yang belum ada.
Hari esok adalah wujud yang belum ada, kita tidak perlu terlalu memikirkan dan menghawatirkanya.
Sebab segala sesuatu yang berada diluar kontrol kita, berarti berada dalam kontrol yang maha kuasa.
Maka tak perlu lah kita menghawatirkan dan terlalu mengurus nya.
Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis syekh Ibnu Athalla dalam kitab Al Hikam :
أرح نفسك من التدبير فما قام به غيرك عنك لا تقم به لنفسك.
Rebahkanlah jiwamu dari sok mengatur – ngatur! Karena sesuatu yang sudah dalam genggaman Tuhan maka (biarkan DIA yang mengaturnya) jangan malah kau rebut untuk kemudian kau genggam dalam wilayah pengaturan mu sendiri.
Jika kita yakin bahwa rezeki yang belum wujud sedang berada dalam genggaman dan pengaturan Tuhan, maka jiwa kita bisa santai rebahan dan tidak terlalu berat memikul beban pengaturan rezeki.
Dalam Al-Qur’an surat adzariyat (22-23) juga sudah dinyatakan dengan sangat gamblang bahwa seluruh rezeki dan semua fasilitas yang telah dijanjikan oleh Allah, berada di langit, bukan di bumi (di tangan manusia).
وَفِى السَّمَاۤءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوْعَدُوْنَ.
Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.
Jika setiap manusia diberi wewenang untuk menentukan rezekinya maka ketimpangan akan terjadi dimana-mana dan roda kehidupan akan berhenti.
Tak ada lagi yang mau bekerja atau bertani sebab semua telah menjadi crazy rich dengan cara sim salabim.
Tak ada lagi penerima sedekah atau zakat bahkan bisa jadi lahir Fir’aun – Fir’aun baru yang merasa mampu membeli apa saja, berbuat apa saja dan melupakan kesejatianya.
Oleh M. Sholah Ulayya
(Anggota AswajaNu Center Sidoarjo)