Konsep Rezeki dalam Pandangan Kecerdasan Nabawi (2) : Keyakinan, kegembiraan dan Keajaiban Rezeki

Poin NU Porong – Keyakinan membuahkan kegembiraan, dan kegembiraan menumbuh-kembangkan rasa syukur dan rasa percaya diri yang mulai terbangun dari tidur panjang.

Ketika seorang anak meyakini bahwa ayahnya seorang yang berkecukupan dan mampu menopang uang jajanya, maka ia tak pernah takut saat uangnya mulai menipis. Begitu juga dengan orang yang tidak ragu atas pengayoman dan jaminan Tuhan pada semua ciptaan-NYA, tentu tingkat keyakinanya harus lebih tinggi dibanding keyakinan seorang anak pada ayahnya itu.

Suatu ketika Rasulullah datang membawa tawanan perang. Dalam kelompok tawanan tersebut ada seorang ibu yang kehilangan anaknya. Saat ibu tersebut mencari anaknya, ia melihat sesosok bayi yang menangis. Seketika itu juga, si ibu langsung mendekapnya (meskipun bukan anaknya) dan menyusuinya. Melihat adegan tersebut, Rasulullah bertanya pada sahabat Umar .

” Kau lihat ibu itu? Tegakah dia melemparkan anaknya ke neraka?”.

“Tidak jawab Umar”.

“Nah.. Rahmat Allah lebih besar dari kasih sayang ibu yang kau saksikan itu!”.

Begitu lah cara nabi menanamkan keyakinan akan besarnya anugerah dan rahmat Tuhan pada para sahabatnya.

Tuhan tidak pernah absen ketika kondisi hamba-Nya terdesak. Jika sang hamba mau datang dan bersimpuh dihadapan-Nya , maka Tuhan pasti akan memberi-NYA jalan. Minimal membuat sang hamba semakin kuat dan tegar menghadapi cobaan yang sedang dideranya.

Dalam hal bisnis dan wiraswasta, KH.Maemoen Zubair pernah memberi rumus yang unik ketika beliau menafsiri firman Allah yang menerangkan bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan dan kesenangan yang tak lama.

Jelas beliau, orang yang bermain-main dengan dunia hendaknya nggak perlu terlalu serius, anggap aja “dolanan” (permainan). Lihat saja orang-orang kaya yang telah” berhasil” itu. Mereka menjalankan roda bisnisnya dengan riang, santai, seperti anak-anak yang sedang bermain.

Baca juga  Menyelami makna Rabb, murabbi dan tarbiyah

Jadi salah satu kunci keberhasilan dalam berbisnis adalah senang menjalaninya. Ketika kita senang dan menikmatinya, maka secara otomatis bisnis kita akan mudah berkembang. Sebab kita mensyukuri hasilnya meksipun tidak banyak.

Sebaliknya, jika kita menjalankan bisnis dengan ambisi ingin cepat kaya, lekas untung besar, simsalabim, maka saat hasil tidak sesuai harapan emosi kita akan menurun. Api semangat yang mulanya menyala-nyala menjadi padam. Dan ketika bisnis tersebut menghasilkan pundi-pundi materi yang melimpah, bisa jadi seseorang malah semakin haus dan belum merasa cukup. Karena pijakan pertamanya adalah hasil, kekayaan, bukan manfaat atau berdayaguna bagi sesama.

Sebuah bisnis adalah seperti seorang bayi yang masih dalam kandungan. Ada proses-proses tertentu yang harus dilewati. Agar si bayi tidak terlahir prematur dan bertumbuh dengan sehat. Kehidupan pun tidak melulu soal untung- rugi, sukses-gagal, kaya-miskin. Ada sesuatu yang lebih berharga dan lebih bermakna dari itu semua.

Sebab setiap pekerjaan, apapun itu, menuntut keahlian, ketelatenan, dan dampak positif dari semua itu. Segala sesuatu yang berdampak positif dan bermanfaat untuk orang banyak, maka secara otomatis akan mendatangkan materi dan kebahagiaan.

Oleh karenanya, ukuran kesuksesan menurut Rasulullah bukan hanya pada hasil yang berupa uang, tapi kebermanfaatan bagi banyak orang dan alam semesta.

Seorang lelaki datang pada Rasulullah dan bertanya :

“wahai Rasulullah, bagaimana tipe orang yang paling disukai oleh Allah?”

Nabi menjawab, “Orang yang paling disukai Allah adalah mereka yang paling banyak memberikan dampak positif (manfaat) bagi semua manusia”.

Dan amal paling disenangi Allah adalah secercah kegembiraan yang engkau masukkan dalam hati orang muslim, engkau bantu dia mengurangi bebannya atau engkau bayarkan hutangnya, atau engkau hilangkan rasa laparnya.

Baca juga  Semua kebaikan akan dibalas pahala oleh Allah kecuali puasa menjadi rahasia-Nya

“Aku lebih suka berusaha membantu seorang kawan (saudara) memenuhi kebutuhanya dari pada duduk beri’tikaf di masjid (Madinah) ini”. (HR. Imam Tabarani).

 

Penulis : M. Sholah Ulayya ( Aswaja NU Center Sidoarjo )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *