POIN NU Porong, Biografi. KH Anas Al-Ayyubi sosok kyai yang tidak asing bagi warga Sidoarjo khususnya warga Jatirejo – Porong. Tempat dimana beliau berkiprah, berjuang, merawat, mengayomi, dan membantu masyarakat. Dilahirkan pada tanggal 03-03-1939, di sebuah dusun paling selatan di kecamatan Porong, yaitu dusun Pesantren Porong. Dusun yang mayoritas masyarakatnya agamis. Sehingga tak luput bahwa beliau hidup dan tumbuh dibawah asuhan keluarga berlatar belakang agamis pula. Beliau adalah putera ke-4 dari delapan bersaudara yaitu Nyai Son, Nyai Rokhimah, Pak Anis, Yai Anas, Pak Toha, Pak Dawam, Pak Damam, dan Nyai Masriyah. Ayahnya bernama mbah K.H. Abdurrahman bin Tohir dan ibu beliau Hj. Umroniyah (ibu beliau seorang hafidzoh) adalah seorang tokoh agama di daerah Porong pada masanya. Orangtuanya memiliki lembaga yang bergerak dibidang pendidikan, yaitu yayasan Umroniyah. Yai Anas begitu beliau disapa, mengenyam pendidikan di MINU Yayasan Umroniyah milik orangtuanya.
Daftar Isi
Saat mengenyam pendidikan di ponpes Tebuireng Jombang
Kurang lengkap rasanya mengupas seorang tokoh tanpa mengenal jejak perjalanan beliau hingga bisa mencapai puncak prestasinya. Yai Anas adalah seorang pribadi yang memiliki prinsip yang teguh dan berkarakter. Hal ini tidak lepas dari proses pendidikan yang beliau terima dari kedua orang tua beliau. Ayah beliau, kiai Abdurrahman adalah seorang yang mumpuni, tegas, disiplin, dan bijaksana dalam mendidik putra putrinya. Sedangkan ibu beliau, bunyai Umroniyah adalah seorang hafidzoh yang tidak hanya hafal al-Qur’an diluar kepala, namun juga mencintai dan membumikan ajaran-ajaran al-Qur’an kepada putera-puterinya. Itulah yang menjadikan yai Anas begitu tekun dalam menimba ilmu di tebuireng.
Bahkan menurut salah satu sumber, yai Anas mampu menyelesaikan hafalan al-Qurannya hanya dalam waktu 7 bulan. Ini menandakan bahwa yai Anas bukan hanya sosok santri yang tekun belajar, namun juga dianugrahi kelebihan berupa kecerdasan diatas rata-rata. Mungkin banyak yang hafal al-Qur’an, namun yang mampu menggali maknanya, memahami tafsirnya, dan mengamalkan isinya hanya segelintir orang yang terpilih. Nah, yiai Anas adalah segelintir manusia langka itu.
Bagaimana beliau mampu memadukan antara ilmu agama, semangat perjuangan, dan keberanian berkorban. Baik itu dengan harta, tenaga, bahkan nyawa sekalipun. Bunyai dewi pernah berkisah, saking sibuknya yiai Anas dalam berdakwah dan melayani umat, sampai-sampai bunyai Dewi yang notabene adalah istri beliau sangat sulit untuk bertemu beliau. Meskipun hanya sekedar ingin ngobrol atau menyampaikan uneg-uneg. Sebab, setiap kali yiai Anas datang dari pengajian, beliau langsung melanjutkan aktivitas dakwahnya. Baik itu mengajar santri, melayani tamu atau berkholwat, menyepi untuk berzikir dan bermunajat kepada Allah.
Yai Anas termasuk orang beruntung, karena bisa ngangsu kaweruh kepada salah satu kiai besar nan –alim yang diambil menantu oleh kiai Hasyim Asy’ari, yakni kiai Idris. Kiai Idris Kamali adalah seorang kiai ilmunya bagaikan samudera tak bertepi. Konon beliau memiliki banyak karamah dan keajaiban. Maka tidak sedikit santri beliau yang menganggap kiai Idris ini adalah seorang wali Allah, seorang manusia yang telah sampai level tertinggi dalam proses perjalanan spiritual kehambaan dan kekhalifahannya di muka bumi.
Konon kiai Idris ini memiliki santri khusus sebanyak 40 orang. 40 orang santri ini memiliki kewajiban shalat berjamaah di shaf depan. Selain itu, ke-40 santri tersebut juga memiliki waktu-waktu spesial bersama kiai Idris. Mereka mendapat fasilitas lebih berupa tambahan jam ngaji dan perhatian khusus dari kiai Idris. 40 santri ini digembleng secara khusus untuk disiapkan menjadi ulama besar yang siap mengawal dan melayani umat. Nah, yai Anas adalah salah satu santri yang beruntung itu. Karena kedekatannya itu, kiai Idris menjadi sosok yang spesial baik emosional dan spiritual. Kiai Idris adalah maha guru kunci yang memahat sosok yai Anas hingga menjadi seorang tokoh yang sukses dan disegani oleh umat.
Ketika mondok di Tebuireng – Jombang, dimulailah pengembaraan keilmuan serta pengasahan ruhaninya. Beliau nyantri secara intens dan tekun dibawah asuhan seorang kiai alim yang juga menantu dari pendiri NU, Kiai Idris Kamali. Kiai Idris inilah sosok sentral yang banyak memengaruhi cara berpikir dan pola hidup beliau. Bahkan hingga beliau boyong dari pesantren, kiai Idris masih menjadi penuntun dan pengambil keputusan atas keluh kesah dan semua kegalauan beliau. Salah satunya adalah saat yai Anas ditawari seorang donatur untuk membangun lembaga pendidikan di Jatirejo. Mulanya beliau menolak, namun setelah kiai Idris menyarankan agar beliau menerima tawaran tersebut, yai Anas pun langsung menerimanya tanpa berpikir panjang.
Begitulah memang seharusnya sikap seorang santri, bagaimana tetap hormat dan menjunjung tinggi sang guru meskipun santri tersebut telah dihormati banyak orang dan sudah menjadi tokoh masyarakat. Bagi yiai Anas, seorang guru adalah orangtua ruhani, penuntun perjalanan hidup dunia dan akhirat.
Kiprah perjuangan dan relasi jaringan
Yai Anas bukanlah sosok tokoh yang merasa besar kepala dan gila hormat. Semua lapisan masyarakat, beliau rangkul. Tak peduli kasta dan tingkat sekonominya. Hal ini dibuktikannya ketika awal mula pernikahan beliau dengan bunyai Dewi, yai Anas menceritakn impian-impian dan cita-citanya. Meskipun pada saat itu bisa dibilang beliau masih belum menjadi siapa-siapa dan belum memiliki apa-apa, tapi beliau berani bercita-cita dan yakin akan impiannya. Beliau ingin mendirikan lembaga pendidikan untuk orang-orang tidak mampu, panti asuhan, dan menjadi penggerak ekonomi rakyat kecil. Dan setelah berjalannya waktu, masyarakat pun mulai mengenal beliau. Dengan usaha tidak mudah, dan cobaan yang bertubi-tubi datang, atas ketekunan, doa para guru, dan keihlasannya, mulailah terbuka pintu-pintu tawaran dari para santri dan jamaah beliau, yang menjadi titik terang akan hasil dari usaha panjang beliau dalam menggapai cita-citanya itu.
Di Jatirejo berdirilah sebuah pondok pesantren beranama Nurul Hikmah. Kemudian berganti nama Abil Hasan Asy-Syadzili hingga sekarang. Di sana juga di bangun gedung pertemuan bercat putih yang sering disebut gedung putih. Gedung inilah saksi bisu perjuangan beliau dalam menjaga, merawat, dan menuangkan ide-ide beliau terkait persoalan umat. Di gedung itu, beliau mengumpulkan para kiai dan tokoh masyarakat untuk menggalang pergerakan untuk pemberdayaan dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan masalah-masalah besar umat Islam, baik itu dalam skala desa, kecamatan bahkan kabupaten. Salah satu tokoh ulama yang dekat dengan yai Anas serta ikut andil dalam komunitas gedung putih adalah alm. Gus Dur. Gus Dur sangat dekat dengan yai Anas, sebab Gus Dur paham betul kualitas dan ketulusan yai Anas. Yai Anas berkali-kali dipaksa oleh Gus Dur agar bersedia pindah ke Jakarta dan membantu perjuangan Gus Dur di sana. Namun yai Anas dengan berat hati menolaknya. Beliau lebih memilih memperjuangkan dan merawat NU diakar rumput.
Begitulah sosok yai Anas, tidak hanya alim dalam ilmu agama, tapi memiliki jiwa aktifis pergerakan yang menjadi punjer atau menara bagi kiai-kiai di sekitar Sidoarjo. Beliau menyediakan ruang bertukar ide, silang pendapat, dan paguyuban para ulama agar semangat kesatuan dan persatuan antar kiai NU tetap terawat dan tidak terpecah oleh isu-isu provokatif dan tidak produktif. Yai Anas benar-benar sosok kiai yang tidak hanya pandai ngemong umat, ngemong santri, tapi juga menjadi sosok pemersatu para kiai di wilayah Sidoarjo. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kondisi saat ini kurang ada keterhubungan komunikasi dan jalinan persahabatan antar tokoh agama dan masyarakat yang sering disebabkan oleh hal sepele atau kepentingan pribadi maupun kelompok. Sehingga ruh persatuan umat menjadi terkotak-kotak, aliran informasi kurang bersih, yang akhirnya umat menjadi korban dari sifat kekanak-kanakan para tokoh panutannya. Belum lagi masalah gerakan Islam garis keras yang mulai menjamur di wilayah Sidoarjo. Saat ini, umat benar-benar membutuhkan sosok ulama seperti yai Anas yang mumpuni dalam berbagai bidang keilmuan terutama pemersatu dikalangan para tokoh.
Kiprah perjuangan di NU dan PKB
Hampir seluruh kehidupan yai Anas, tenaganya, hartanya Ia jadikan kendaraan dan sarana untuk kepentingan umat sebagai perwujudan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Islam yang mengayomi dan merangkul semuanya. NU didirikan tak lain adalah untuk menjaga keutuhan ajaran Islam tersebut. NU adalah sanad, mata rantai, dan gerbong yang tersambung dengan Rasulullah SAW. Tugas utama NU adalah tugas para ulama itu sendiri sebagai pewaris para Nabi yang memang diutus untuk merawat, melestarikan, dan mengenalkan agama tauhid ditengah umat manusia. NU adalah kepanjangan tangan dari tugas pokok risalah Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi.
Kiprah yai Anas di NU sudah tidak perlu diragukan lagi. Sejak remaja beliau sudah aktif di organisasi NU, beliau berperan aktif dalam sosial kemasyarakatan di Porong khususnya Jatirejo. Beliau pernah mengemban amanah sebagai Rais Syuriah PCNU Sidoarjo tahun 1996 – 2001. Tidak hanya itu beliau pun aktif di PKB sebagai wadah aspirasi politik warga NU yang didirikan oleh Gus Dur. Bagi yai Anas, gerakan apapun itu, baik politik, sosial, atau ekonomi tujuan utamanya adalah untuk berjuang sebagai kendaraan menuju ridho Allah SWT, tidak lebih tidak kurang.
Pada Januari 2003, beliau bertemu sang kekasih-Nya untuk selama-lamanya dan dimakamkan di halaman pondok pesantren yang sekarang sudah tertutupi kubangan lumpur. Namun makam beliau diberi tanda serta dibangun punden dan nisan dari beton sehingga para peziarah bisa berziarah di makam beliau. Sang tokoh spiritual yang disegani telah meninggalkan dunia ini, namun jasa serta kebaikan-kebaikan beliau akan dikenang serta dilanjutkan estafet perjuangannya.
Disarikan dari berbagai sumber dan wawancara bersama Bu Nyai Dewi (istri) dan Drs. H. M. Sugiono Alhafidz di desa Ploso – Krembung, September 2021
Oleh : Siti Mardhiyah, M.Pd.I – Ketua PAC FATAYAT NU Porong