Rapat kordinasi LTMNU Porong, metode penentuan awal bulan ramadhan

Glagaharum,Poin NU Porong – Rapat kordinasi rutin Majelis Wakil Cabang Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (MWC LTMNU) Porong digelar pada Jum’at (10/03/2023) malam bertempat dimasjid Darussalam Desa Glagaharum Porong. Acara yang diawali dengan pembacaan istighosah dipimpin oleh ustadz H. Sumawik Priyono lantas dilanjutkan dengan khutbah iftitah oleh katib syuriyah MWCNU Porong Kyai Moh. Syaifuddin.

Ada hal yang menarik dari pertemua pada malam hari ini yakni penyampaian materi oleh rois syuriyah MWCNU Porong KH Achmad Luqman Marzuqi, M.Pd.I tentang metode penentuan awal bulan ramadhan serta tata cara pelaksanaan sholat tarawih. Beliau juga merupakan salah satu pengajar pada mata kuliah Aswaja di Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo (UNUSIDA).

Dalil penentuan awal ramadhan dapat dilihat pada hadits sebagai berikut :

حَدَّثَنِيْ يَحْيَىْ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ الله ِبْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَاتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ .فَإِنْ غُمَّ فَاقْدُرُوْالَهُ

Artinya : Menceritakan kepadaku Yahya dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar sesungguhnya Rasulullah  menyebut ramadlan kemudian berkata, Jangan puasa sehingga kalian melihat awal bulan dan jangan berbuka sehingga kalian melihatnya. Ketika tertutup mendung maka kalian kirakanlah.

Empat mazhab dan banyaknya ulama’ berpendapat dari فَاقْدُرُوْا لَهُ  menyempurnakan tiga puluh atau dua puluh sembilan hari.

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

Artinya: “Berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah (mengakhiri puasa) dengan melihat hilal. Bila ia tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari,” (HR Bukhari dan Muslim).

Metode penentuan awal ramadhan dengan cara melihat langsung hilal (rukyat) ini sesuai dengan hadits nabi Muhammad SAW

Baca juga  Lailatul Ijtima' LDNU Sidoarjo dan haul Gus Dur

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا

Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab . Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”

Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan,

“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka (Fathul Bari, 4/127).

Terjadi beberapa perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan ramadhan ini. Perbedaan pendapat terjadi pada :

  • Ulama’ yang pendapat harus bisa dilihat dengan panca indra mata sesuai ketentuan hadits dengan mensyaratkan secara hitungan astronomi bisa dilihat;
  • Pendapat yang lain tidak mensyaratkan hal tersebut bisa dilihat dengan indra mata atau tidak yang penting secara hisab dianggap sudah masuk bulan;
  • Ketentuan mayoritas Ulama’ Indonesia harus adanya bulan yang bisa dilihat sebagai ketentuan hitungan astronomi yaitu minimal dua derajat;
  • Ilmu hisab (ilmu astronomi) bisa dianggap apabila hasil perhitungannya valid(bisa dipertanggung jawabkan ketepatan hitungannya);
  • Pertama kali yang membolehkan puasa dengan hisab adalah Imam Muththarif guru dari Imam Bukhari.
Baca juga  Tahlil kubro PAC Muslimat Porong,lakukan upaya maksimal dalam mewujudkan kemaslahatan

Ketentuan penetapan bulan puasa dan hari raya secara menyeluruh di suatu negara  menurut ulama’ fikih adalah  dari pemerintah sesuai hadits.

 

 

Porong, 11 Maret 2023

Miftachul Arif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *