Pada tahun 1288 H. (1871 M) “Syekh Ibrahim bin Husen” yang berasal dari Buengcala, Kuta Baro, Aceh telah memberi isyarat bahwa “Negeri Bawah Angin (Nusantara)” akan lepas dari Belanda sesudah bangsa lukid (mata sipit, maksudnya bangsa Jepang) masuk. Maka insyaAllah sekitar tahun 1365.H (tahun 1945.M) akan lahir suatu negeri yang adil bijaksana yang dinamakan al-Jumhuriyah al-Indonesiyah. (Baso, 2015:245).
Selanjutnya pada tahun 1290 H (tahun 1874 M) diselenggarakan pertemuan ulama-ulama Aceh yang menghasilkan ijma’ ulama: “Jangan tuan-tuan berkhianat kepada agama Islam, durhaka kepada Allah dan RasulNya, dan durhaka kepada al-Jumhuriyah al-Indonesiyah, dan tidak setia kepada negeri dan bangsa. Siapa yang berkhianat boleh diperangi”. (Baso, 2015:245).
Dalam isyarat itu dinyatakan bahwa negara yang akan lahir bernama al-Jumhuriyah al-Indonesiyah (yang kurang lebih berarti Republik Indonesia) yang adil dan bijaksana, bukan bernama Kerajaan Islam atau bukan bernama Negara Islam (bukan pula Daulah Islamiyah). (Bizawie, 2016:402). Isyarat tersebut menunjukkan bahwa akan lahir “negara bangsa (nation state)” yang bernama Republik Indonesia.
Perlawanan Terhadap Penjajah.
Sejak awal, sejarah perlawanan terhadap penjajah dilakukan oleh kalangan umat Islam, terhitung sejak pengusiran Portugis dari Malaka yang dilakukan oleh Sultan Demak Adipati Unus pada tahun 1521. Sejak itu kalangan santri selalu melakukan perlawanan terhadap penjajah, baik yang menjarah kekuasaan politik, merampok seluruh hasil bumi, maupun yang menindas bangsa Nusantara. (Mun’im DZ, 2017:300).
Kesadaran masyarakat pribumi atas bahaya ekspansi yang dilakukan bangsa Barat, terutama Belanda, menjadi spirit membangkitkan serangkaian perlawanan dari para penguasa dan masyarakat lokal. (Bizawie, 2014:24). Perlawanan terhadap penjajah terus terjadi di hampir semua daerah dan semua kerajaan yang ada di Nusantara, yang melibatkan berbagai suku dan agama.
Perlawanan dengan motif memerangi penjajah dan perjuangan untuk mendapatkan kembali kepentingan ekonomi yang telah direbut VOC (Belanda) terjadi di mana-mana. (Bizawie, 2014:27-28). Berbagai perlawanan terjadi di berbagai daerah. Perlawanan kerajaan Banten, perlawanan di Maluku, perlawanan masyarakat Bugis dan Makassar, perlawanan Sultan Agung (raja Mataram}, perlawanan Trunojoyo, perlawanan Raden Kajoran, perlawanan Panembahan Giri, perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa, perlawanan Untung Surapati, perlawanan Pangeran Imam Bonjol di Sumatra Barat, perlawanan Pangeran Diponegoro yang banyak didukung oleh ulama-ulama tarekat, perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Sentot Alibasah Prawiradirja, perlawanan Raden Mas Said, dan lain-lain. (Bizawie, 2014:24-53).
Setelah berakhirnya perlawanan Pangeran Diponegoro, maka perlawanan terhadap penjajah bergeser ke Pesantren, setelah para kiai pengikut Pangeran Diponegoro menyebar ke berbagai daerah dan mendirikan pesantren yang sebagian besar mengajarkan tarekat (Bizawie, 2014:50), untuk meneruskan perjuangan melawan penjajah di berbagai daerah, meskipun perlawanan tersebut lebih bersifat kultural, tetapi akan memberikan konstribusi yang signifikan dalam perlawanan dan perjuangan pada masa-masa berikutnya. (Bizawie, 2014:53).
Kiai Abdus Salam atau dikenal dengan nama Kiai Shoichah (kakek buyut KH. Hasyim Asy’ari) merintis berdirinya pesantren di Tambakberas Jombang; Syekh Abul Ghonaim mendirikan pesantren di Batu Malang; Kiai Zakaria mengembangkan pesantren di Blitar; Kiai Abdur Rauf mendirikan pesantren di Muntilan Magelang; Kiai Umar (Ayah Kiai Shaleh Darat) mendirikan pesantren di Semarang; Kiai Hasan Basari (kakek KH Munawir Krapyak Yogyakarta) mengembangkan pesantren Tegalsasri Ponorogo.
Kiai Darda’ mendirikan pesantren di Semarang; Kiai Mutadlo mendirikan pesantren di Jamsaren Surakarta; Syekh Baing Yusuf (guru Syekh Nawani Al-Bantani) mendirikan pesantren di Purwakarta; Kiai Muta’ad (Kakek Kiai Abbas Buntet Cirebon) mendirikan pesantren di Buntet Cirebon; dan masih banyak lagi ulama dan kiai yang mendirikan pesantren. (Bizawie, 2014:50-53).
Perlawanan terhadap penjajah untuk merebut kembali kepentingan masyarakat dan kepentingan penguasa lokal tersebut membangkitkan “nasionalisme”, yang menurut Prof. Kacung Marijan, Ph.D. (dalam Bizawie, 2014:xxx) bahwa nasionalisme di Nusantara tumbuh karena adanya semangat perlawanan terhadap penjajahan, serta adanya kesamaan sejarah dan kesamaan kepentingan.
Pesantren, Tempat Menyemai Nasionalisme.
Institusi pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam di Jawa, memiliki peran yang sangat penting dalam membangun gerakan yang bersifat keagamaan. Pesantren tidak hanya sekedar menjadi tempat pendidikan, melainkan juga menjadi tempat pembinaan pemimpin agama yang selanjutnya sanggup mempengaruhi dan memimpin beberapa gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. (Bizawie, 2014:55).
Dengan basis pesantren dan jaringan tarekat, para ulama menyatukan masyarakat Islam pedesaan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.di beberapa daerah. (Bizawie, 2014:56). Para ulama pesantren juga terus berjuang dengan melakukan perlawanan kultural melalui penguatan keilmuan dan membangun jaringan antar ulama-santri. (Bizawie, 2014:59).
Dengan menjadikan pesantren sebagai tempat penguatan keilmuan dan basis kekuatan untuk melawan penjajah, maka nasionalisme kiai dan santri di lingkungan pesantren tumbuh dan semakin menguat. Kuatnya nasionalisme kiai dan santri dapat dilihat dari lagu “Mars Hubbul-Wathan” lagu perjuangan berbahasa arab yang diciptakan oleh KH A. Wahab Chasbulllah (salah seorang kiai pendiri Nahdlatul Ulama) pada tahun 1934, yang waktu itu sangat popular di lingkungan kiai-kiai dan santri-santri pesantren, dan berhasil membangkitkan semangat juang kiai-kiai dan santri-santri Nahdlatul Ulama untuk ikut melawan penjajah.
Kiprah pesantren dan umat Islam cukup besar dalam menanamkan “nasionalisme” Indonesia, karena para tokoh pergerakan nasional tidak dapat dilepaskan dari dunia pesantren dan spirit Islam. Haji Samanhudi adalah santri di Pesantren Buntet Cirebon dan Haji Oemar Said Tjokroaminoto adalah seorang keturunan dari Kiai Kasan Besari, Pesantren Tegalsari Ponorogo. (Bizawie, 2016:19).
Bahkan Dr. Setia Budi (E. FE. Douwes Dekker) (dalam Bizawie, 2016:19) menyatakan bahwa jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti yang diperlihatkan oleh sejarahnya hingga mencapai kemerdekaannya.
Negara Indonesia adalah Darul Islam
Munculnya aspirasi berupa negara bangsa (nation state) sebagaimana diikrarkan dalam “Sumpah Pemuda” dan adanya diskusi intensif antara Haji Oemar Said Tjokroaminoto dengan KH. Hasjim Asy’ari dan KH A Wahab Hasbulllah, berujung pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin tahun 1936, yang memutuskan bahwa Nahdlatul Ulama tidak akan mendirikan negara Islam. (Bizawie, 2016:30).
Pada Muktamar NU tersebut telah diputuskan oleh kiai-kiai dan ulama-ulama NU, bahwa sesungguhnya negara Indonesia sudah merupakan “negara Islam” karena sudah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi status sebagai “negara Islam” tetap berlaku selamanya. Pendapat tersebut mengacu pada kitab Bughyatul-Mustarsyidin bab Hudnah wal Imamah. (Masyhuri, 1996:138).
Muktamar NU di Banjarmasin tersebut mempertegas sikap Nahdlatul Ulama bahwa NU menerima Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Darul-Islam, bukan Daulah Islamiyah (pemerintahan Islam), tetapi “negara Islam” dalam pengertian walayahul-Islamiyah (daerah Islam) karena mayoritas penduduk nusantara adalah muslim dan selama beberapa abad dikuasai oleh kerajaan muslim. (Mun’im DZ, 2017:55).
Muktamar NU yang diselenggarakan sembilan tahun sebelum Kemerdekaan RI tersebut menegaskan bahwa ukhuwah Islamiyah harus bersinergi dengan ukhuwah wathaniyyah. Jiwa kebangsaan Nahdlatul Ulama tumbuh dan dilandasi nilai-nilai keagamaan pesantren. Hal inilah yang membedakan nasionalisme NU dengan nasionalisme sekuler. (Prof. Kacung Marijan, Ph.D. dalam Bizawie, 2016:xxx).
Oleh H. Achmad Farich, S.T., M.Pd.
Dikutip ulang dari dutaislam.com dan kompas.com