Nahdlatul Ulama (NU) bukanlah organisasi yang tiba-tiba saja muncul. Namun, melalui proses yang cukup panjang. Organisasi yang secara resmi berdiri sejak 31 Januari 1926 tersebut, sejatinya telah diwacanakan jauh sebelum itu oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah. Akan tetapi, Karena pada saat itu, Kiai Wahab belum mendapatkan restu dari Hadratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari, maka gagasan untuk mewadahi gerakan kiai-kiai Ahlusunnah wal Jamaah di Nusantara kala itu, ditahan terlebih dahulu.
Sembari menunggu restu atau lebih tepatnya konfirmasi spiritual dari para kekasih Allah (waliyullah) di Nusantara, Kiai Wahab berupaya mendirikan organisasi-organisasi parsial di kalangan ulama bermadzhab di Nusantara saat itu. Organisasi-organisasi inilah yang kemudian, oleh Chairul Anam (1984), disebut sebagai cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama.
Setidaknya ada tiga organisasi yang dinilai sebagai pilar awal berdirinya NU. Yang pertama adalah Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang). Organisasi ini mewadahi para kiai dan saudagar muslim dari kalangan bermadzhab. Lalu, adapula Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang bergerak dalam bidang pendidikan (Madrasah). Kemudian, dalam bidang pergerakan dan pemikiran yang ditampung dalam Taswirul Afkar (Pengejawantahan Pemikiran). Dua organisasi terakhir ini, masih eksis pada masa-masa awal berdirinya NU.
Akan tetapi, tiga pilar tersebut, tampaknya masih kurang. Karena, sebagaimana dalam Statuen NU (Anggaran Dasar NU) yang pertama, ada satu bagian lagi yang belum tercover dalam tiga organisasi pilar yang disebut sebelumnya di atas. Yaitu, organisasi yang bergerak dalam mengkonsolidasi masjid dan langgar sebagai tempat ibadah.
Sebagaimana yang tercantum pada Fatsal 3 ayat E:
“Memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masdjid-masdjid, langgar-langgar dan pondok-pondok begitoe, djoega dengan hal ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin.”
Dari sini, menarik kiranya menelaah organisasi Takmiroel Massajied sebagai salah satu pilar lain berdirinya NU. Sebagaimana diungkapkan dalam De Indische Courant 14 Agustus 1924, tujuan dari berdirinya Takmiroel Massajied ini berfokus pada pengembangan masjid dan berupaya membantu saudara-saudara miskin senegara dan seagamanya. Dari sinilah, sebagaimana diungkapkan Ketua Takmiroel Massajied Soendjoto yang dikutip oleh De Indische Courant 13 Agustus 1924, organisasi ini telah melakukan sejumlah perbaikan masjid dan juga mendirikan rumah miskin Tembok Gede.
Catatan KH. Umar Burhan dalam Majalah AULA, Nomor 1 Tahun III, 1981, yang berjudul Hari-Hari Sekitar Berdirinya NU, menyebutkan bahwa organisasi Takmiroel Massajied tersebut berdiri pada 1922 di Masjid Kemayoran, Surabaya. Organisasi tersebut diinisiasi oleh Kiai Wahab dengan mengumpulkan para ulama dan saudagar di Surabaya. Organisasi ini kemudian diketuai oleh Haji Abdul Kahar bersama dengan tokoh-tokoh lainnya.
Salah satunya kiprah Takmiroel Massajied tersebut, adalah merenovasi dan memperbesar Masjid Paneleh. Sebagaimana diungkapkan dalam De Indische Courant, 8 Agustus 1924, yang mengabarkan tentang rencana peletakkan batu pertama Masjid Paneleh itu pada minggu depan.
Proses perluasan dan renovasi Masjid Paneleh ini awalnya mendapatkan pertentangan dari sejumlah ulama pada masa itu. Karena, Masjid Paneleh sendiri dikelilingi oleh makam-makam kuno.
Dari sinilah, kemudian muncul dua pendapat tentang boleh tidaknya membongkar makam untuk dijadikan tempat ibadah. Persoalan ini kemudian dilakukan serangkaian bahtsul masail, istifta dan penelitian yang diinisiasi oleh KH. Wahab Chasbullah. Bahkan, Kiai Wahab menuliskan secara khusus pandangan keagamaan terhadap renovasi Masjid Paneleh tersebut. Kitab itu, kemudian diterbitkan oleh Percetakan al-Irsyad Surabaya yang selesai ditulis pada 16 Muharram 1343 H atau bertepatan dengan 17 Agustus 1924 (tentang kitab ini, bisa baca tulisan penulis, ‘Karya Kiai Wahab Chasbullah yang Tersembunyi’ dalam ‘Tambakberas: Menelisik Sejarah Memetik Uswah’).
Di sampul kitab ini secara jelas disebutkannya keterlibatan Takmiroel Massajied:
“Penyirep Gemuruh: Karangan Kiai Haji Abdul Wahab Kertopaten, Surabaya bin Kiai Chasbullah, Tambakberas, Jombang bin Kiai Haji Said bin Syamsudin fasahullah kubura huma wa gafara dunubihim wa ja’ala jannata alaihim. Iki buku nerangaken penggawehane Takmirul Masajid anggediaken masjid jami’ ing Kampung Paneleh kang nomor 9 Surabaya…..”
Selayaknya organisasi pada umumnya, Takmiroel Massajied ini juga mencatatkan proses pemilihan pengurus dan melakukan rapat-rapat umum. Sebagaimana diungkapkan dalam De Indische Courant 5 Maret 1927, terdapat pemilihan dewan pimpinan baru. Berikut ini, susunannya:
- Ketua: Haji Brahim;
- Sekretaris: Sundjoto;
- Bendahara: Haji Boerhan;
- Komisaris: Haji Talki dan Haji Hasan Gipo;
- Penanggungjawab Masjid Kemayoran: Haji Achjab dan Kiai Semid;
- Penanggungjawab Masjid Paneleh: Haji Saleh Syamil dan Soegeng Joedhoadiwirjo.
Jika kita amati susunan Takmiroel Massajied tersebut, maka akan ditemukan sejumlah nama yang sama dalam kepengurusan pertama dibentuknya Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama pada 1926. Terutama pada bagian tanfidziyah yang memang dapat mengakomodir kalangan yang bukan ulama.
Beberapa di antaranya adalah Haji Hasan Gipo (Komisaris) yang dipercaya menjadi Ketua Umum Tanfidziyah HBNO, Haji Boerhan (Bendahara) yang juga ditunjuk sebagai Bendahara HBNO, Haji Achjab (Pj Masjid Kemayoran) menjadi Wakil Ketua HBNO, dan Haji Saleh Syamil (Pj Masjid Paneleh) menjadi Komisaris HBNO, dan ada juga Soegeng Joedhoadiwirjo yang memiliki nama lain Muhammad Sadiq (Pj Masjid Paneleh) yang menjadi Sekretaris HBNO (Lihat Statuen Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama 1926).
Dari fakta ini, semakin mengukuhkan bahwa Takmiroel Massajied benar adanya sebagai pilar berdirinya NU. Tidak hanya sebagai bagian dalam menjalankan visi NU dalam penanganan masjid dan rakyat terlantar, namun orang-orangnya juga turut terlibat dalam mendinamisir NU awal-awal berdiri. Inilah satu pilar yang patut untuk dikenang kembali sebagai bagian dalam upaya meneguhkan kiprah NU menjelang satu abad ini. (*)