Poin NU Porong – Opini
Perempuan bukan hanya ibu, juga belum tentu emak-emak. Perempuan adalah subyek in optima forma. Ia tak bisa dengan mudah diringkas dalam sebuah konsep dan diringkus dalam sebuah kategori. Tapi antagonisme politik elit kini tak henti mengontrol dan menertibkan perempuan dalam logika-logika ekuivalensial: “emak-emak” atau “ibu bangsa”.
Mungkin karena politik selalu mengandaikan satu pola yang ajek dan stabil, maka dunia dan semua sengkarut fenomenanya harus dirampat-papankan dalam paradigma “bujur sangkar”. Perempuan dengan segala keanekaragaman dan kekhasannya harus bisa masuk dalam satu kotak dan tertutup dengan semua sisi yang sama dan rata.
Maka ketika para politisi bicara tentang “emak-emak” atau “ibu bangsa”, ia sebenarnya sedang melakukan “identifikasi”. Jika Adorno benar, bahwa identifikasi tak bisa lepas dari merumuskan identitas-identitas, maka konsep dan kategori “emak-emak” atau “ibu bangsa” sebenarnya telah meletakkan perempuan dalam satu kurungan yang sama dan membekukannya sampai terjadi kesamaan. Dengan kata lain, pada identifikasi itu, setidaknya ada asumsi, atau ilusi, tentang kubu yang satu dan padu, pejal dan utuh.
Tak mengherankan, bila “emak-emak” yang notabene memiliki kategori lebih kecil ketimbang “ibu bangsa”, dipaksa digunakan oleh para politisi untuk menjaring semua (pemilih) perempuan dalam semua jenis kategori, termasuk perempuan dari kalangan terhormat dan berpendidikan tinggi. Sebab, seperti kita tahu, dalam paradigma politik bujur sangkar, semua pengertian, konsep, kategori sengaja dikonstruksi semata sebagai garis dan tembok bagi lawan. Persis seperti ditengara Laclau, kata-kata tak lebih sebagai “penanda kosong” (empty signifier). Kata-kata (penanda) tidak pernah mengacu pada sang benda atau realitas (tinanda) tertentu, a signifier without a signified. Arti dan makna sebuah kata sepenuhnya ditentukan oleh konvensi, berdasarkan kesepakatan dan keputusan sejumlah subyek dalam konteks tertentu. Di sini, arti dan makna yang dihasilkan dari jalinan antara penanda dan tinanda itu sifatnya bisa sangat arbiterer dan kontingen.
Dengan mengosongkan tinanda, dengan menjadikan pengertian bersifat arbiterer dan kontingen, penanda (emak-emak dan ibu bangsa) bisa difungsikan sebagai “penanda mengambang” (floating signifier), yang bisa bergerak liar dan bisa masuk serta mudah diterima oleh berbagai pihak. Dan serentak dengan itu, klaim-klaim universalitas dapat dilangsungkan. Kedua kubu bisa menahbiskan diri sebagai satu-satunya kubu yang mampu mewadahi aspirasi dan kepentingan seluruh kaum perempuan, tanpa kecuali. Tentu, dalam proses itu, hegemoni menjadi tak terelakkan.
Dalam karyanya yang begitu masyhur, Hegemony and Socialist Strategy, Laclau dan Mouffe melihat, bahwa hegemoni memang selalu diancang untuk membekukan semua serakan partikular menjadi gugusan universal. Sebab itu, artikulasi diskursif menjadi niscaya. Hanya saja, artikulasi diskursif mustahil memiliki daya hegemonik tanpa adanya kemampuan menjaga ‘kestabilan’ makna dan pengertian yang universal. Sedangkan makna dan pengertian yang universal juga menjadi mustahil, tersebab kata-kata yang hadir dalam artikulasi diskursif itu hanya sebagai ‘penanda kosong’, yang proses pengisian maknanya ditentukan oleh konvensi, berdasarkan kesepakatan dan keputusan dari posisi subyek yang berbeda-beda.
Pada titik ini, pemegang hegemoni, entah kubu “emak-emak” atau “ibu bangsa”, tak akan pernah adekuat dan sampai di titik final. Kubu manapun yang membangun wacana sebagai yang niscaya, yang paling sesuai dengan kodrat perempuan, atau sesuai dengan ‘esensi’ bangunan sosial para perempuan, adalah dusta. Sebab setelah itu, langsung atau tak langsung, akan ada retakan, ada antagonisme, ada gerakan sosial baru yang akan membongkar dan melakukan delegitimasi.
Dan benar, Atnike Nova Sigiro, salah satu dari sekian banyak aktivis perempuan menggugat gerakan politik itu. Menurutnya, gerakan politik emak-emak dan ibu bangsa, tak lebih sebagai politisasi terhadap perempuan. Sebab, dalam gerakan itu, tak ada isu strategis yang diangkat berkaitan dengan kehidupan perempuan, khusunya soal pengesahan UU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Kesetaraan Gender, UU Penghapusan Kekerasan Seksual, atau RKUHP tentang Pemerkosaan (Tirto,11/9/2018).
Sampai di sini, Laclau dan Mouffe benar, bahwa memang tak ada dasar yang menjamin di tangan siapa hegemoni akan jatuh. Semuanya kontingen. Semuanya serba mungkin. Pada titik ini, sesungguhnya semua perempuan, tentu dengan keberagaman dan kekhasannya masing-masing, bisa tampil setara dan membentuk political frontier atau garis politik sendiri. Garis politik itu harus terus diaktifkan sampai terbanguan a chain of equivalences (jalinan kesamaan) di antara beberapa kelompok perempuan dan kelompok-kelompok s zaaosial yang lain. Hanya dengan itu, perempuan bisa membebaskan diri dari antagonisme politik yang hendak menyeragamkan hidup dan pilihan politiknya.
Opini Oleh Tsanin A. Zuhairy
Direktur Nine Vision – PW LTNNU Jawa Timur