Poin NU Porong – Pada rumus pertama dari konsep rezeki ala Kecerdasan Nabawi kita belajar tentang hakikat dan makna rizki. Pada tulisan kedua kita memupuk diri agar menancapkan keyakinan bahwa rizki adalah proses belajar dan proses mengenali sang pengatur dan pembagi rizki. Pada tulisan kali ini kita telah merasakan sepenuhnya, bahwa manusia adalah mahluk lemah yang bergantung pada banyak pihak dalam hidupnya.
Mulai asupan udara setiap detiknya, air dan makanan setiap harinya. Makanan dan air yang kita konsumsipun tidak datang secara tiba-tiba. ada petani yang mengolah, para buruh dan pedagang yang memudahkanya untuk bisa menikmati semua itu.
Belum lagipihak-pihak lain yang lebih besar jasanya dari sekedar makan dan minum. Matahari, air hujan, metabolisme tubuh yang normal, jantung yang memompa peredaran darah dan lain sebagainya. Itu artinya, manusia tidak bisa hidup sendiri. Hebat sendiri, pintar sendiri, ataupun kaya sendiri. Untuk mencapai hal terkecil pun, kita tak mampu mengusahakanya sendiri.
Jika setiap orang diberi kemampuan untuk menentukan rizkinya sendiri, maka bisa dipastikan roda kehidupan akan terhenti. Sebab tak ada lagi manusia yang mau bekerja untuk orang lain. Oleh karenanya, banyak orang kaya namun kehilangan kebahagiaan.asetnya melimpah tapi miskin ketenangan jiwa. Karyawannya puluhan bahkan ratusan, tapi ia merasa kesepian.
Pada titik ini, ada satu jenis rizki tak nampak yang jarang digali oleh kebanyakan orang.
Apa itu?
Ketenangan, ketenteraman, kehangatan serta kebermaknaan.
Disinilah makna terdalam dari apa yang kita sebut – sebut sebagai “rizki” itu.
Maka tidak aneh jika dalam doa-doa Nabi, tidak satupun kita temukan permintaan beliau untuk menjadi kaya atau bergelimangan harta.
Satu-satunya doa keberlimpahan yang tertulis dalam al Quran adalah permohonan Agar selalu diberi tambahan ilmu.
” Wahai Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu”. (QS : Taha : 114).
Dalam beberapa riwayat memang disebutkan beliau meminta “al Ghina”, akan tetapi makna al-ghina sendiri sangat luas bukan hanya bermakna “kaya”.
Kata “ghina” dalam kamus al-munawir bisa berarti “banyak asetnya”.
Artinya bisa saja seseorang memiliki banyak harta tapi tidak merasa kaya. Bisa jadi karena masih merasa kurang atau sebaliknya, ia merasa bahwa semua harta yang ia miliki hanya titipan semata.
Makna lain dari kata ghina adalah tidak butuh. Terkadang ada tipe orang yang merasa sudah berkecukupan sehingga tidak lagi membutuhkan materi lebih dari apa yang bisa menopang hidup dan keluarganya.
Dalam sebuah riwayat Nabi bersabda :
أللهم إني أسألك الهدى والتقى والعفاف والغنى .
Ya Allah sesungguhnya aku memohon kedapaMu petunjuk, ketakwaan (penjagaan-pengayoman), serta kekuatan untuk terhindar dari sesuatu yang tercela, juga “alghina” (keberlimpahan – kecukupan). (HR.Imam Muslim).
Dalam riwayat lain, Nabi mencela orang yang telah diberi kekayaan namun masih terus merasa kekurangan dan kurang bersyukur atas apa yang telah ia miliki.
Nabi bersabda :
إذا أراد الله بعبد خيرا جعل غناه في نفسه وتقاه في قلبه وإذا أراد الله بعبد شرا جعل فقره بين عينيه. رواه الحاكم.
Ketika Tuhan berkehendak menurunkan kebaikan melalui hamba-Nya maka Dia akan menjadikan rasa berkecukupan dalam jiwa hamba tersebut dan memberi kekuatan berupa ketakwaan (pengayoman) dalam hatinya. Dan apabila Allah ingin menimpakan suatu keburukan bagi seorang hamba, maka DIA akan menjadikan jiwanya selalu merasa kekurangan (dengan selalu mengukur hartanya dengan harta orang lain).
Hadis ini sebenarnya adalah cermin bagi setiap manusia agar ia berkaca dan meraba dirinya sendiri, untuk kemudian bisa menentukan pilihan, ingin menjadi sosok hamba yang pertama ataukah yang kedua. Atau malah membuat tipe yang ketiga : hamba yang kaya harta plus kaya hati ! Semoga
Penulis : M. Sholah Ulayya ( Aswaja NU Center Sidoarjo )